Kamis, 23 Agustus 2012

Twitter?!

Twitter, sebuah fenomena, sebuah pembatasan yang juga bisa menjadi keleluasaan. 140 karakter yang terlalu sedikit atau malah terlalu banyak untuk menyampaikan, menanyakan, menyatakan, curhat, menginformasikan, memanggil, me-mention, menghujat, mengingatkan, mempromosikan, dsb sesuatu kepada pihak lain, follower, atau malah tidak ditujukan untuk siapa pun. Pendeknya 140 karakter bisa disiasati dengan mem-posting link yang terhubung ke tulisan yang lebih panjang atau bila 140 karakter terlalu banyak kita bisa benar-benar berkicau dengan 4 huruf saja atau kurang  semacam sigh yang menandakan kegetiran penuh misteri :) Seperti lambangnya yang mengambil simbol seekor burung, kicauan burung kadang tidak dipedulikan, kadang dianggap biasa saja, dan terkadang pula dianggap sangat luar biasa oleh pendengarnya (follower-nya). Beberapa user mengganggap tingkat kepuasan dalam menggunakan twitter bisa diukur dari seberapa banyak jumlah follower, seberapa banyak yang me-replay, me-retweet, meng-quote atau mungkin seberapa besar pengaruh yang bisa diberikan kepada user yang lain dengan tolok ukur sesuatu yang disebut trending topics.

Belakangan ini, twitter bagi saya merupakan semacam kilasan pemikiran tiap-tiap user yang saya follow, tentunya yang saya follow dengan tujuan yang berbeda-beda. Ada yang saya follow karena sangat informatif, teman, buzzer, inspiratif, lucu, dan harus diakui kadang-kadang saya juga membutuhkan sesuatu yang saya sebut junk-info yaitu suatu info yang saya persamakan dengan junk-food, rasanya sangat enak namun nilai gizinya masih dipertanyakan bahkan kalau over bisa memberi pengaruh yang negatif. Info-info remeh temeh seperti naik apa seorang artis pergi mudik kadang perlu untuk menjadi selingan informasi yang sangat bergizi seperti keberhasilan para ilmuwan mengidentifikasi partikel Tuhan (High Bosson) (maaf kalau salah ketik) yang menghebohkan dunia persilatan itu. Sedikit tambahan untuk partikel Tuhan ini, saya lebih condong menggunakan kata "mengidentifikasi" daripada "menemukan" karena dalam opini saya (IMHO) partikel ini sebenarnya sudah ada dari dulu, cuma kita manusia dengan segala keterbatasannya baru dapat membuktikan keberadaannya melalui berbagi percobaan dan penelitian yang membutuhkan kerja keras, waktu, dan biaya yang tidak sedikit. Bagi saya, twitter juga kadang bisa menjadi katalis bagi user-nya, bagaimana saya menjadi begitu tergugah untuk menulis tentang sepak bola begitu membaca kicauan salah satu akun yang ulasan sepak bolanya bagi saya bagitu WOW, bagaimana saya serasa menjadi begitu bijak dan kadang seperti tersadar membaca kicauan akun yang lain melalui quote andalannya. Begitu terhibur, kadang geram, kadang sedih, kadang menjadi ingin tahu, kadang menjadi malah tak mau tahu. Apa kira-kira yang membuat hal ini bisa terjadi pada para pecandu twitter? 

Tulisan? Bukankah tulisan tidak hanya ada di twitter, tulisan yang memberikan informasi bisa kita dapatkan di mana saja, melalui koran, surat, buku, dan media informasi lainnya. 

Faktor 140 karakterkah? Keterbatasan membuat kreativitas meningkat? Begitu dibatasi, manusia umumnya secara naluriah akan berusaha mensiasati keterbatasan itu, keterbatasan jumlah huruf/karakter disiasati dengan menulis sesuatu yang benar-benar ingin disampaikan dalam 140 karakter menjadi semenarik dan sepadat mungkin, jaman yang serba praktis mungkin begitu sibuknya sehingga membaca sesuatu yang pendek namun benar-benar 'berisi' terasa sangat mengasyikkan.

Faktor bahwa setiap hal yang di-posting bisa dibaca oleh siapa saja? Diary, mungkin hanya kita saja yang tahu seperti agenda maupun catatan atas kegiatan harian, namun apa rasanya ketika setiap hal yang kita tulis atau sampaikan bisa dibaca oleh siapa saja di seluruh penjuru dunia yang telah dirangkul oleh internet? Menegangkan bukan? Hal ini kadang membuat orang sangat berhati-hati dalam menulis atau malah membuat orang menjadi exhibitionist yang dengan tanpa rasa canggung menulis apa pun yang dirasakan, dilakukan, didengar, dilihat, dimakan, diminum, atau dipikirkan tanpa mencerna baik-baik apa yang akan ditulis tidak hanya untuk para follower-nya tapi kepada siapa saja yang mungkin membaca.

Yah mungkin masih banyak faktor-faktor lain yang menjadi pertimbangan pengguna twitter untuk setia meng-update kicauannya, namun apa pun itu, mengutip sebuah bingkai kata-kata di tembok kelas saya waktu SMP dulu "Words are sharper than Swords", bagi saya penggunaan twitter untuk kepentingan apapun harus tetap bertanggungjawab sehingga tidak menjadi penyesalan di kemudian hari. Kata-kata (tweet-tweet) yang telah terucap (ter-posting) mungkin masih bisa ditarik (di-delete) namun akan selalu membekas bagi yang mendengarnya (membacanya) seperti paku-paku yang tertancap pada sebatang kayu, bisa kita cabut namun bekas tancapannya akan tetap ada pada kayu itu.

Lets's tweet again
#kantormasihsepi
#suasanalebaran





Rabu, 22 Agustus 2012

Pecel Perak

Semenjak bertugas di Perak, ada satu pedagang nasi pecel yang berjualan di seputaran Tanjung Perak yang menjadi langganan saya. Kira-kira berlangganan aktif semenjak periode 2008-2010, kemudian akhirnya terhenti setelah dipanggil lagi mengikuti pendidikan di Jakarta pada awal 2010. Ibu penjual pecel itu menjual nasi pecelnya yang digelar di atas meja, jadi tempat berjualannya tidaklah permanen. Buka mulai sekitar jam 6 pagi dan biasanya sudah habis gak sampe dalam waktu 2 jam setelahnya. Nasi pecel beliau ini menjadi sarapan wajib saya hampir tiap harinya dulu pada waktu masih bujang. Walaupun sederhana, tapi nasi pecelnya mantap sekali, serius?!. Harganya berkisar antara 5rb-7rb (tergantung pilihan lauknya). Ada sambalan gitu, pake terong rasanya maknyus abis, tempenya crunchy, telur dadarnya smooth, bumbu pecelnya pas tidak kemanisan ataupun keenceran, pokoknya mantap jaya.

Saking seringnya beli sarapan di sana, ibu penjual pecel sampai hapal wajah saya, walaupun tidak mengenal nama saya. Seringkali mendapat fasilitas khusus, entah kenapa ibu penjual itu selalu mendahulukan saya, seramai apapun, begitu lihat saya mau membeli, seperti sudah otomatis langsung membungkuskan satu porsi nasi pecel untuk saya padahal masih banyak pelanggan lain yang antri. Ibu itu selalu berpikir kalau saya tidak didahulukan nanti saya bisa terlambat masuk kantor (baik banget kan...), dan dia selalu ngomong ke pelanggan lain yang antri ketika mendahulukan saya "Mas ini (saya) akan berangkat ke kantor, jadi saya dahulukan ya biar dia gak telat ke kantor..". Sebenarnya gak enak hati juga dengan pelangggan yang lain, tapi  mau nolak juga gimana karena saya sudah punya standar menu yang dipesan, jadi ya pesanan itu sudah disesuaikan dengan kebutuhan saya yang kalaupun ditawarkan pada pelanggan yang lain biasanya minta ditambah apa gitu, tambah tempe, tambah sambel atau kerupuk. Pokoknya seleranya beda-bedalah tiap pelanggan.

Tak terasa mungkin sudah hampir 3 tahun tidak belanja sarapan pecel di ibu pecel perak itu lagi. Tapi tadi pagi tiba-tiba teringat betapa mantabnya sarapan pake nasi pecel itu, akhirnya sengaja gak sarapan di rumah untuk sekedar mengobati kerinduan nikmatnya nasi pecel perak itu. Dari kejauhan saya lihat ternyata pelanggannya sudah ramai, wah semoga saja belum kehabisan. Motor saya parkir sekenanya dengan masih memakai helm dan masker yang menutupi mulut saya lanngsung turun dan ikut mengantre (ramai banget!! posisi wajah masih tertutup masker dan memakai helm). Si ibu penjual pecel cuma sempat melirik saya sebentar, saya sieh diem saja, yakin dia gak bakal mengenali saya, eh tiba-tiba dia gak lama langsung buatin satu porsi yang ternyata disiapkan untuk saya. Padahal baru ngomong "Bungkus satu, bu." dan masih ada pelanggan lain yang sepertinya sudah antri sejak tadi. Waduh, jadi gak enak juga nieh, gak jadi deh buka helm dan masker, tapi ibu penjual pecel kok kayanya tahu kalau saya nieh (pelanggan lama yang setia) yang mesen. Paling gak udah lewat 3 tahun padahal saya tidak sarapan nasi pecel buatan beliau lagi.

Amazing... Ibu-ibu penjual pecel ini punya kemampuan cenayang mungkin :)



Senin, 20 Agustus 2012

Pelajaran Bahasa Indonesia

Dulu waktu jaman masi SD kalo pas musim-musim ulangan umum, ada satu mata pelajaran yang menurut saya ajaib, yaitu Bahasa Indonesia. Yupz, sebentar lagi akan saya coba jelaskan kenapa anak ingusan (ingus yang sebenarnya)--> 'saya waktu itu' bisa berpikiran seperti itu.
Sejujurnya dalam pikiran saya waktu itu, keadaan yang saya alami itu seperti ini (saking naifnya) : bahwa sebenarnya kita semua itu sudah bisa berbahasa Indonesia sejak lahir, buktinya waktu TK kita tidak diajari bahasa Indonesia, tapi waktu Bu Gurunya nanya "Anak-anak sudah makan semua?" Semua serempak bisa menjawab dengan sempurna dalam Bahasa Indonesia "Sudah Bu Guru!!!" (Masih belum sadar kalo menerima pembelajaran bahasa Indonesia secara lisan).
Begitu masuk SD, keadaan menjadi agak berbeda. Ketika kegiatan menjadi lebih serius dengan diperkenalkannya buku garis tiga dan kita diajarkan cara menulis halus. Waktu itu, pelajaran bahasa Indonesia adalah pelajaran untuk berlatih menyalin huruf per huruf, tulisan per tulisan, kata per kata sesuai dengan contoh yang diberikan oleh Ibu Guru. Jangankan satu paragraf, beberapa kata aja mungkin butuh waktu sama dengan setengah episode Ksatria Baja Hitam. Lama boz. Ketika saya sudah agak menguasai untuk menulis kata-kata, naik ke kelas 2 apa 3 itu saya kurang ingat levelnya dinaikkan. The next level, kita tidak hanya menyalin, tapi ditantang untuk menulis apa yang kita pikirkan. Saat itulah ketemu pas ulangan umum yang namanya mengarang, membuat suatu karangan cerita yang kadang-kadang judulnya sudah ditentukan atau minimal temanya yang sudah ditentukan. Wah, ini bagi saya pekerjaan berat, bayangkan di hari sebelum ulangan umum bahasa Indonesia, saya mengira-ngira judul apa yang harus saya tulis besok saat ujian mengarang. Biasanya juga, ujian mengarang didahului dengan menjawab soal-soal teori, jadi kadang kebawa tuh pas kerjakan soal teori kepikiran mau nulis apa pas mengarang :D
Dan lucunya lagi, pada mengerjakan karangan itu, sebagian besar (baca semua-red) anak di kelas kami berpikir, bahwa nilai dari mengarang itu ditentukan oleh banyak atau sedikitnya kalimat yang tersusun dalam paragraf yang dihasilkan. Jadilah waktu itu kompetisi menulis dalam lembar terbanyak :) ya dikit-dikit liat dari kejauhan teman-teman yang nulisnya uda 2 lembar halaman polio uda bikin keder juga.
Ketika naik tingkat lagi, saya diperkenalkan lagi dengan berbagai macam bentuk pengetahuan baru dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Puisi, prosa, gaya bahasa, kata majemuk, membuat kalimat, lawan kata, sinonim, antonim, dll, dsb, dst.... Pelajaran Bahasa Indonesia makin menjadi sesuatu yang tak pasti. Ketika ulangan umum soalnya muncul dalam pilihan ganda, umumnya saya memilih jawaban yang paling panjang :D
Kadang-kadang jawabannya seperti tidak pasti, tapi kadang juga dibutuhkan jawaban yang pasti layaknya Aljabar. Belum lagi saat ujian gitu kita dikasi paragraf panjang, trus dikasi pertanyaan yang jawabannya ada dalam paragraf tersebut, menentukan majas, menentukan antonim atau sinonim, singkatan, membahas sajak yang digunakan pantun atau syair dan masih banyak lagi. Saat itu pelajaran bahasa Indonesia cukup aneh bagi saya.
***
Saat menulis tulisan ini, saya sadari saya masih sangat tergantung pada pelajaran Bahasa Indonesia. Ternyata memang sampai kapan pun kita tak akan bisa lepas dari pelajaran ini, pemahaman saya pun terhadap Bahasa Indonesia masih sangat kurang. Elemen penting dalam memahami semua pelajaran yang kita tempuh sebenarnya juga sangat ditentukan kemampuan kita dalam Berbahasa Indonesia. Ingin mendalami Ilmu Pasti sudah pasti harus bisa Bahasa Indonesia, minimal baca lah, kan literaturnya ditulis dalam bahasa Indonesia (kecuali uda jago bahasa asing), khusus untuk di Indonesia, sebagian besar ilmu-ilmu lain selain bahasa Indonesia juga disampaikan dalam bahasa Indonesia kan. Bayangkan saja kalau kita tidak mengerti tentang hal yang mendasar semacam menentukan kalimat utama, tentunya susah juga memahami (mengambil inti) dalam sebuah paragraf/tulisan yang membahas disiplin ilmu lain. Kalau tidak menangkap intinya tentunya proses pemahaman akan menjadi lebih lambat.
Kebutuhan akan bahasa Indonesia juga semakin mengikat ketika masuk ke dunia kerja baik secara lisan maupun tulisan. Bagi para pegawai yang memiliki atasan, tentu terselamatkan oleh Bahasa Indonesia yang mengajarkan mereka bagaimana seharusnya pilihan kata yang harus digunakan saat berkomunikasi lisan dengan atasan, rekan sejawat, maupun bawahan. Yang gak tahu bahasa Indonesia akan keliatan aneh sendiri nyapa boznya di kantor "Wasssup bro. You've got SWAG"...:D. Yang tidak kenal majas akan lempeng-lempeng aja ketika disindir dengan majas sarkasme dalam lisan kawan-kawannya (cieh nyebut sarkasme... ) Secara tulisan pun lebih vital, saat berkomunikasi secara tulisan dengan relasi/entitas lain, tentunya akan menjadi hal yang ganjil bila untuk persuratan saja masih kacau balau. Saya sudah mengalami sendiri realitanya, kadang untuk membuat sebuah konsep surat yang 'bisa memuaskan' hasrat atasan perlu menggali lagi ingatan-ingatan lampau saat belajar bahasa Indonesia di SD-Kuliah. Memikirkan sesuatu dalam benak kita sendiri tentu akan mudah kita pahami sendiri, tapi menuangkan hal yang kita pikirkan baik secara lisan maupun tulisan kepada orang lain dengan tujuan agar bisa disampaikan apa yang kita pikirkan itu?! Kita memerlukan keajaiban bahasa (Indonesia).



Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone







Jumat, 17 Agustus 2012

Pak Tua

Tubuhnya renta, rambut kusut putih tak terawat, tangannya menggenggam tapi was-was.
.....Istri? Apa itu sebutan untuk wanita muda dalam balutan gaun sexy itu?
Anak? Ah, itu pun tak terpikirkan
Cucu? Ya itu adalah anak dari anakku....
Entah kenapa, punggungnya terasa berat, hingga berjalan harus menunduk, tatapannya hampir lurus ke tanah tempat berpijak. Kakinya bergetar hebat tiap melangkah, pandangannya kabur menyiratkan ketidakyakinan dan kegelisahan. Setiap mencoba bersuara hanya lenguhan serak basah yang terdengar, tak setiap orang bisa mengerti apa yang coba dikatakannya. Jangan pandangi wajahnya, wajah penuh penyesalan itu membuat siapa pun yang memandangnya menjadi putus asa. Orang-orang yang mendatanginya lebih memilih untuk memandang ke arah lain, pura-pura batuk, merasa tak nyaman dan cenderung ingin segera menyelesaikan urusannya dengan pak tua ringkih itu.
Pak tua tempat tinggalnya tidak tentu, kadang di sudut pasar pagi di seputaran terminal, kadang di dekat lampu merah perempatan besar alun-alun kota. Siang yang panas ini, pak tua hanya duduk termangu di dekat warung Bu Inah. Wajahnya cukup meyakinkan, cukup yakin kalau dulu pak tua punya sebuah rumah idaman.
Di tengah jalannya kadang ia tertidur, ling lung sambil berusaha mengingat sedang berada di mana dirinya. Dia masih beruntung masi ingat siapa dirinya dulu. Serasa dulu sekali... Sekitar 40 tahun yang lalu. Ya, 40 tahun yang lalu.
***
Badan tegap, kulit legam, kencang, berbahu kokoh. Langkahnya mantap, berkumis tebal dengan sorot mata tajam. Kadang senyum angkuh tersungging dari mulutnya yang menghitam terbakar racikan tembakau. Dia ingat benar, sebilah pisau Swiss asli selalu terselip di lipatan celana jeans birunya. Belum lagi sepucuk pistol yang dengan rapi terselip di balik jaket kulit hitamnya yang angker.
Kota kecil itu ada dalam genggamannya, namanya hampir tak dikenal tapi sosoknya telah membuat banyak orang trauma. Ketika sekedar kumpul untuk minum menghangatkan badan bersama teman-temannya dia selalu berkelakar "Semua sudah kukalahkan. Tinggal menunggu kematian biar kuhadapi setangguh apa dia..." di selingi tawa yang membahana di bar yang kelam itu.
***
Dia ingat benar itu. Dan sampai sekarang paktua itu masih menunggu.. Orang-orang yang lalu lalang hanya penasaran, apa gerangan yang ditunggu-tunggu oleh pak tua itu.


Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone





Selasa, 17 Juli 2012

Best Birthday Ever

Ulang Tahun?! Momen yang mungkin selalu dinanti, ditunggu, atau malah ditakuti mungkin untuk beberapa orang :)
Setiap orang mungkin memiliki kesan yang berbeda-beda tentang hari ulang tahunnya, ada yang bahagia mungkin ada juga yang tidak mengenakkan. Bagiku, momen ulang tahun selain sebagai sebuah rutinitas tiap tahunnya baik itu dirayakan maupun tidak dirayakan merupakan penanda bertambahnya umur kita, diingatkan kapan kita lahir (setidaknya menurut kalender masehi :p).
Sebagai anak yang dibesarkan oleh keluarga yang cukup sederhana, momen ulang tahun bagi kami bukanlah sesuatu yang begitu sangat spesial, secara tradisi kami di rumah lebih merayakan hari ulang tahun sesuai dengan perhitungan Pawukon (kalender Bali), jadi secara tradisional, orang Bali merayakan hari lahirnya tiap 210 hari sekali alias 6 bulan (sasih) dimana 1 sasih (bulan) adalah sama dengan 35 hari. Tapi, tetap saja, momen ulang tahunku di 2012 ini terasa lebih spesial, bukan karena dirayakan, ato karena kantong bolong akibat mentraktir ato alasan lainnya, namun karena ini ulang tahun pertamaku bersama keluarga kecilku. Istri ternyata menyiapkan kejutan kecil yang begitu manis, dengan sebentuk kue coklat yang lezat, ditambah senyuman lucu kecil, kok rasanya ulang tahunku sekarang berasa sempurna ya.. Sweet..
Gak ada makan-makan (mungkin belum), cuma kami bertiga, istri menyanyikan lagu ulang tahun, si kecil yang keliatan masi bingung lebih penasaran melihat nyala api di atas lilin berbentuk angka 26 merah yang terus meleleh perlahan-lahan.
Lilin yang terus meleleh juga mengingatkan kita ya, bahwa semakin lama fisik (tubuh) kita juga akan semakin tua/lemah... Persis dengan lilin yang terbakar itu, mungkin lebih lama, mungkin lebih cepat. Tak ada yang bisa menebak sampai angka berapa lilin yang akan dinyalakan nantinya untuk kita saat berulang tahun (kalau ada..)
Sesaat sebelum meniup lilin, istri menyuruhku untuk make a wish terkebih dahulu. Aku cuma tersenyum, dalam hati cuma bertanya, bisa gak waktu berhenti sekarang aja, saat kami semua berkumpul.
Si kecil cuma terheran-heran melihat kue coklat dengan lilin menyala di atasnya itu...

Nginden, 17 Juli'12


Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone


Selasa, 03 Juli 2012

Bay Say #2

"Mungkin level terkeren yang bisa dicapai oleh seorang lelaki adalah ketika dia menjadi seorang Ayah....."

Jumat, 02 Maret 2012

Info Itu..

Indonesia kalah 10-0 dari Bahrain dan kekalahan ini menunggu pengusutan dari AFC.
Esemka ternyata tidak lulus uji emisi.
Rosa sakit saat akan disidang.
Seorang jaksa dibacok setelah disidang.
Jerapah mati lagi di Kebun Binatang Surabaya.




dll... dll... dll... masih banyak lagi..
... Fiuh.. terus terang membaca surat kabar, menonton televisi, membaca portal berita online Indonesia itu sungguh melelahkan. Mungkin memang menyajikan fakta dan bertujuan untuk memberikan informasi yang sebenar-benarnya pada khayalak umum, tapi lha saya secara pribadi kok selalu ngenes jadinya tiap baca headline surat kabar. Entah kapan terakhir saya baca judul headline koran yang bikin hari sumringah terus bibir tersenyum. Kapan ya itu?

Masyarakat sekarang sudah pintar dan sangat dimudahkan dalam mencari informasi dalam berbagai bentuk dan berbagai media. Hal ini membawa dampak positif bila didukung pula dengan kemampuan untuk memilah dan mencerna informasi. Tapi yang bisa saja terjadi adalah masyarakat yang "dikontrol" oleh informasi. Apapun itu, informasi tetap merupakan "data yang diolah". Siapa yang mengolah?  Ya tentunya manusia juga. Jangan lupa bahwa kekuatan kata-kata/tulisan bahkan mampu mengubah peradaban. Apa yang dicapai manusia sekarang tidak lepas dari segala macam informasi yang berhasil dihimpun dan dimanfaatkan oleh mereka sendiri untuk mencapai kesejahteraannya.

Apa ciri masyarakat yang sudah "terkontrol" oleh informasi? Menurut saya salah satunya adalah derasnya respon masyarakat itu sendiri terhadap informasi yang diterimanya. Katakanlah sekarang masyarakat banyak menggunakan internet yang bisa diakses melalui alat portabel mungkin dari hp, laptop, komputer, dan sejenisnya. Misalnya seperti fitur broadcast message pada Blackberry Messenger, kadang-kadang ada informasi yang beredar melalui fitur ini yang belum tentu benar namun sudah menimbulkan keresahan di masyarakat. Contoh lain lagi misalnya twitter, orang dengan gampang saja membuat akun anonim/palsu yang secara sepihak membuat sensasi dengan pemberitaan yang mungkin belum teruji kebenarannya namun langsung mendapat respon dari masyarakat yang kadang langsung membuat kehebohan. Bahkan "screen capture" status facebook seseorang bisa jadi arena caci maki bila sudah menyangkut isu SARA. Apa sebabnya heboh? Hal ini menurut saya juga karena ada faktor perlombaan dalam menyampaikan informasi, tidak hanya dari pada sumber informasi, tetapi juga dari masyarakatnya sendiri. Terdepan dalam mengabarkan informasi kadang menjadi prioritas utama daripada "terbenar" dalam memberikan informasi, lagi-lagi jaman yang berbicara. Jaman sekarang cenderung mengajak kita untuk saling berlomba, siapa cepat, dia dapat, siapa terdepan, dia yang menang. Informasi kadang juga membuat sesuatu menjadi bias, terutama bila terdapat informasi terhadap hal yang sama tetapi disampaikan berbeda oleh sumber berbeda pula. Kadang menimbulkan konspirasi yang berujung polemik dan pandangan yang berbeda-beda dari penerimanya. Begitu strategisnya kekuatan informasi, tidak aneh bila para politikus  memanfaatkan penguasaan informasi (baca media) untuk mendukung popularitasnya kan?

Selasa, 28 Februari 2012

Fans?!

Ini posting untuk mencoba melupakan kekalahan Garuda Muda dari Myanmar 1-3 T_T
Pasti serulah kalau sesama penggila sepak bola berkumpul terus ngomongin yang namanya sepak bola, pasti dah gak abis-abis. Pokoknya ada aja yang dibahas. Lebih-lebih kalau masing-masing peserta ngobrol punya klub idolanya masing-masing, biasanya yang klub idolanya kalah langsung jadi bulan-bulanan :) Kadang-kadang malas juga sieh, tapi seringnya sieh ikut "kebakar" kalau pas dipanes-panesin. Susah banget mengendalikan diri kalau klub sepak bola kita dihujat..hehehe..
Seperti yang terjadi sore tadi, sebuah klub sepak bola idola teman kami, sebut saja tim A, baru memenangkan piala. Tiba-tiba ada teman kami yang lain, kebetulan mengidolakan tim B memposting gambar tim A yang sedang merayakan kemenangannya memenangkan pialanya, namun diberi tulisan yang rada nyindir "hore, kami tumben angkat piala, sesuatu banget." Tentu saja teman yang mendukung tim A langsung mencak-mencak, serangan balik pun dilancarkan. Si pendukung tim B dicerca oleh pendukung tim A, apa bukti kamu dukung tim B, member aja gak punya. Kalau emang pendukung sejati harusnya punya member (IDcard) donk, gak punya berarti fans abal-abal. Saya cuma senyum-senyum saja, dalam hati sih cuma berusaha menyimpulkan, namun sepertinya tidak usah diutarakan.
Kembali pada serangan balik si pendukung A, apa iya ya? Seorang fans tim sepak bola, misalnya pendukung Arsenal, MU, Madrid or Barca ato tim mana pun harus memiliki member (kartu anggota) fans dari masing-masing klub yang mereka dukung? Kalau menurut saya sih bentuk dukungan terhadap sebuah tim sepak bola itu terlalu sempit kalau hanya diukur dari kepemilikan sebuah kartu anggota pendukung. Sah-sah saja sih kalau memiliki kartu anggota, tapi kalau menuduh orang lain tidak memiliki kartu anggota pendukung tim kesayangannya sebagai fans palsu? Tunggu dulu.
Saya sendiri membuat sebuah analogi, walaupun mungkin agak terlalu tinggi analoginya. Dahulu pada masa perjuangan, para pahlawan kita tidak kenal lelah berjuang berperang mengorbankan jiwa raganya demi kemerdekaan kita. Saat itu kira-kira sudah ada KTP belum ya? Untuk mengukur tingkat nasionalisme seseorang? Jadi, ketika seseorang tidak memiliki KTP atau tanda mendukung negara Indonesia, maka dia bukan fans/warga negara Indonesia. Bandingkan dengan sekarang, mungkin banyak oknum-oknum yang surat-suratnya lengkap, KTP ada, tapi apa kelakuannya pasti mendukung kelangsungan NKRI? Hehehe.. Sekali lagi ngingetin ini cuma analogi, walaupun analoginya mungkin terlalu tinggi.
Pada intinya sih, mendukung sebuah klub sepak bola itu adalah hak setiap individu termasuk keinginan untuk membuat kartu anggota pendukung sebuah klub. Tapi tetap saja, sekeras-kerasnya saling ejek antar fans tim sepak bola, seharusnya itu tidak menimbulkan permusuhan. Seperti biasa kami selalu "bertengkar" kalau urusan klub idola namun tetap bersahabat kental kala "diskusi bola" nya udah kelar. Omong besar dan ejekan itu cuma semacam latihan mental dan bumbu dalam pertemanan, jarang-jarang kan bisa menghujat tapi abis itu hepi :p karena pada dasarnya kita semua mencintai sepak bola, sepak bola seharusnya mengajarkan keindahan dan sportivitas, jauh dari permusuhan.(*)


Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone

Minggu, 26 Februari 2012

Periode Menjelang Nyepi

Kalau sudah mendekati Nyepi kaya gini, so pasti kawula muda di Bali pada sibuk buat ogoh-ogoh. Jadi inget dulu, walaupun cuma jadi anggota alias cuma penggembira, pas kecil-kecilnya ikutan bikin ogoh-ogoh. Masih pada ingusan aja udah ikutan buat ogoh-ogoh walaupun kecil-kecilan. Umumnya banjar-banjar di Bali (setingkat di bawah desa) memiliki organisasi kepemudaan (sejenis karang taruna) yang disebut Sekaa Teruna (sekaa berarti kumpulan/kelompok/grup dan teruna berarti pemuda/muda). Umur anggotanya pada kisaran kelas 1 SMA s.d.usia berapa pun asal belum menikah. Jadi, walaupun secara usia saya masih memenuhi syarat, namun karena sudah menikah jadi keanggotaan di sekaa teruna harus dilepas masuk menjadi Krama (Anggota) Banjar.
Nah, ceritanya kan sekarang uda masuk periode-periode krusial menjelang Nyepi. Para anggota sekaa teruna biasanya udah mulai atau sedang buat ogoh-ogoh. Ogoh-ogoh selain sebagai simbol dari kekuatan alam negatif (Bhuta) ternyata juga menjadi simbol kebanggaan. Lha kok bisa? Bayangkan ini, ogoh-ogoh sekaa teruna anda keren, bentuknya bagus, kuat, serta posenya seperti mustahil untuk dibuat, tentu bangga banget saat mengaraknya apalagi kalau bisa membuat kagum anggota sekaa teruna banjar lain. Di masa-masa saat saya masih menjadi anggota sekaa teruna, saya selalu percaya ogoh-ogoh kami selalu memberi kesan yang berbeda.
Gebrakan pada jaman saya masih aktif dimulai ketika membuat ogoh-ogoh berupa raksasa hijau yang digambarkan sebagai bentuk Triwikrama dari Dewa Wisnu bersenjatakan cakra. Posenya menantang karena mengangkat salah satu kakinya, jadi pondasi ogoh-ogohnya hanya bertumpu pada satu kaki saja. Jaman itu sudah keren banget tuh, untuk tingkat desa kami :) bangga banget bisa ikut ngarak ogoh-ogoh itu. Ternyata di tahun-tahun berikutnya desain ogoh-ogoh makin menggila. Kreativitas adik-adik dan kakak-kakak di sekaa teruna kami patut diacungi jempol. Sekaa teruna kami sempat membuat ogoh-ogoh dalam bentuk maskot Iron Maiden lengkap dengan gitarnya, raksasa berukuran besar dengan pose terbang. Yupz, terbang, tumpuannya hanya pada lutut kanannya. Itu saja sudah bikin saya berdecak kagum, tapi ternyata itu belum seberapa. Kalau tidak salah pada saat menjelang Nyepi di tahun 2009 atau 2010 saya lupa-lupa ingat waktu persisnya, sekaa teruna banjar kami membuat ogoh-ogoh yang sangat revolusioner. Temanya sangat up to date, global warming.. Keren.. Sangat..
Global warming digambarkan sebagai raksasa yang siyap menelan Bumi kita. Posenya sangat mendebarkan, sang raksasa seolah-olah akan memakan Bumi dengan pondasinya adalah lidah sang raksasa. Saya bingung juga tuh kaya gimana bikinnya (saat itu sudah di surabaya). Pose raksasa terbalik, kaki di atas, mirip handstand,tapi bukan dengan tangan melainkan dengan lidah dan bola dunia sebagai landasannya. Sayang saya belum memiliki file fotonya, kalau ada kesempatan memperolehnya saya akan posting deh.
Untuk tahun 2012, walaupun sudah pasti tidak akan merayakan Nyepi di Bali, tapi saya tetap akan mencari informasi kaya gimana sih bentuk ogoh-ogoh yang digarap sekaa teruna di kampung halaman. Sepertinya akan jauh lebih keren.
Jadi makin gak sabar. (*)


Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone

Sabtu, 25 Februari 2012

Cerita tentang Si Monyet

Hiduplah seekor monyet di tengah hutan belantara sendirian. Dia sudah lupa siapa orang tuanya,lupa kawan-kawan sepermainannya sejak kecil hingga sampai sekarang pun belum pernah berkawan dengan binatang manapun. Setiap hari si monyet hanya terus berusaha bertahan hidup di tengah belantara hutan lebat yang penuh bahaya. Seringkali dia harus berjibaku meloloskan diri dari kejaran predator-predator hutan yang kejam. Ada chetaah yang juga jago menaiki pohon, burung elang yang menguasai udara, sampai si buaya yang selalu mengintai setiap kali si monyet minum di sungai besar yang membelah hutan habitatnya.
Lama-lama si monyet menjadi bosan, bosan sendirian, bosan harus bekerja keras mencari makanan, sumpek, capek harus selalu melarikan diri, gelisah, gusar bercampur marah. Baginya tidak ada satupun di hutan yang maha luas itu mengerti tentang dirinya bahkan untuk buah pisang yang sangat dia sukai. Si monyet hari itu membulatkan tekadnya, bahwa semua ini harus berubah, dia sudah sangat muak hidup di hutan belantara yang gelap itu.
Hingga suatu ketika si monyet mendengar tentang sebuah tempat yang terletak di luar hutan, tanah yang terbebaskan kata monyet tua sekarat dekat sungai tadi pagi. Si monyet hanya memandangi si monyet tua yang umurnya tinggal beberapa tarikan nafas itu. Dalam setiap tarikan nafasnya dia terus memekikkan sesuatu tentang "tanah yang terbebaskan", sebuah tempat yang berbeda sekali dari hutan gelap itu. Sebuah tempat tanpa sedikit pun pohon-pohon hijau dan gelap, bebas dari chetaah dan buaya, bahkan elang. Tempat di mana seolah penghuninya bisa hidup tanpa hutan.
Si monyet terpukau mendengarnya, dia percaya tanah yang terbebaskan adalah tempat yang akan dia tuju, walaupun belum pernah mendengarnya, kata 'bebas' di dalamnya membuat monyet merasa nyaman. Bagi si monyet di sanalah takdirnya. Hutan ini terlalu kejam baginya, monyet merasa tidak memerlukan hutan lagi. Dia bertekad akan ke sana. Pergi ke "tanah yang terbebaskan."
***
Siang itu si monyet tengah bermalas-malasan. Kibasan rantai yang mengekang lehernya tiba-tiba mengencang, dia terhenyak. Si monyet sudah berada di "tanah yang terbebaskan" , dia berhasil ke sana. Hari ini monyet kembali bersiap-siap untuk menari lagi dengan payung kecilnya. Menaiki motor kecilnya serta menarik gerobaknya. Suara-suara yang terdengar olehnya sekarang hanya suara sesosok manusia bertampang garang yang kini menggenggam ujung rantai yang membelenggu lehernya. Si monyet sangat merindukan hutan belantara tempat tinggalnya dulu.
Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone

Jumat, 24 Februari 2012

Maaf,Saya (Tidak) Suka Sinetron..

Saya suka televisi, sungguh memberi banyak informasi dan hiburan di kala senggang. Tapi tentunya tidak semua acara televisi saya lahap. Layaknya buah kadang tidak semua bagiannya kita suka, misalnya rambutan, tentunya daging buahnya enak banget tapi tidak kulit dan bijinya (contoh cukup jelas :p).
Kalau acara televisi itu saya umpamakan sebagai buah rambutan, sinetronlah yang menjadi biji atau kulitnya, maaf "no offence" bagi para penggemar sinetron. Ibu, bibi, dan om saya suka dengan sinetron, begitu juga dengan istri saya. Walaupun mungkin mereka tidak mengatakannya secara gamblang "Saya suka sinetron" tapi cara mereka menontonnya, menyimak sampai mendiskusikannya kembali :p cukup mengatakan tingkat level kesukaan mereka terhadap sinetron.
Hal yang menurut saya cukup unik di sini adalah sesuatu yang saya sebut "penyangkalan semu", contoh : istri saya pernah menyatakan *ini ceritanya lagi di depan tv* "ini sinetron kayanya emang sengaja dibuat-buat supaya episodenya panjang. Sinetron ini kan ratingnya tinggi".. Nah itu kan, sudah tahu kalauu ceritanya dibuat-buat, tapi kok ya masih ditonton ya?? (Big Question)..hehehehe.
Berikut ini saya coba rangkum beberapa faktor yang menurut saya menjadi penyebab ketidaksukaan saya dengan sinetron :
1. Di beberapa stasiun tv di Indonesia, tokoh utama sinetron selalu bernasib malang. Seolah topik utama sinetron adalah tentang sialnya nasib sang tokoh utama,termasuk bagaimana tokoh-tokoh antagonisnya "mengerjai" tokoh utamanya.
2.Dari segi cerita yang cenderung mengikuti ratingnya, semakin bagus ratingnya maka semakin dipanjang-panjangin ceritanya. Misal : ketika tokoh utama sudah bahagia, tiba-tiba ada kecelakaan, terus kena amnesia. Atau tokoh utama dikira telah mati atau lebih ekstrem lagi bangkit dari kematian terlebih kemana-mana naik elang :p.
3.Saya akui kalau dulu pas jaman-jaman SD pernah suka sinetron dan itu menurut saya karena kurang tersedianya pilihan acara televisi lain untuk ditonton. Tapi itu dulu, sekarang apalagi sudah kena yang namanya sinetron ala barat kaya NCIS,CIS,How I Met Your Mother,dll jadi makin bertanya-tanya, kenapa dulu pernah suka sinetron ya? Bukannya tidak cinta dengan produk dalam negeri, tapi coba aja deh bandingkan, dari segi penggarapan,kualitas, efek khusus, kok kayanya sinetron kita masi kurang bagus (baca j*lek ;p).
4.Ini pengalaman dari kakak ipar saya. Bagaimana kalau tiba-tiba anak anda mengucapkan kata-kata yang sepertinya sama sekali belum pernah kita ajarkan bahkan kata-kata yang kurang sopan?. Contoh ponakan saya masi balita tiba-tiba ngomong :"Mamak jahat" dengan intonasi yang persis dalam sinetron. Kagok juga kan?
5.Dengan alur cerita yang kadang tidak jelas dan pengaruhnya yang negatif, sinetron hadir di jam-jam utama, berkisar antara jam 18.00-21.00WIB, kayanya rentang waktu di mana banyak pemirsa manteng di depan televisinya termasuk anak-anak di bawah umur. Terlebih label dan sensor semisal R/BO pada layar tv belum optimal dalam membatasi konten-konten yang mungkin belum layak dikonsumsi anak-anak di bawah umur. (Sinetron mungkin cocok ditayangin jam 12 malam ke atas *ngikik)
Walaupun mungkin tidak semua sinetron memberi pengaruh negatif, tapi sejauh yang saya tahu, sebagian besar kontennya (gaya hidup mewah,contoh pandangan penuh kekejaman,nyinyir dengan suara dalam hati yang terdengar jelas, gaya berpakaian, dsb) masih "enggak banget". Dulu ada angkatan balai pustaka, angkatan 45 yang terkenal dengan karya-karya sastranya, miris juga kalau seandainya muncul jargon "angkatan sinetron" dalam beberapa tahun ke depan :)
*this is just my opinion*

Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone

Kamis, 23 Februari 2012

Problem Duluan Mana Ayam dan Telur

Sebenarnya bukan bahasan secara ilmiah, tapi hanya sebuah analogi realita yang kita hadapi sehari-hari di sekitar kita. Mungkin secara ilmiah dapat ditentukan mana yang lebih dulu antara ayam dengan telur, namun kalau dipandang secara awam sebetulnya analogi ini cocok untuk menggambarkan sesuatu yang sering diperdebatkan. Misal : kota-kota besar di Indonesia umumnya mengalami masalah yang sama dalam menangani kemacetan. Ditengarai volume jumlah kendaraan yang terlalu besar yang tidak diimbangi dengan infrastruktur yang memadai menjadi penyebab utama kemacetan seperti di Jakarta dan Surabaya.
Kemudian muncul diskusi-diskusi tentang bagaimana sieh caranya mengurangi kemacetan itu? Ada yang mengusulkan bagaimana kalau pemerintah membatasi jumlah kendaraan yang beredar di jalanan. How? Misalnya mungkin dengan mengeluarkan aturan pembatasan atau menaikkan pajak untuk kendaraan. Bisa juga dengan himbauan kepada masyarakat untuk lebih memberdayakan kendaraan umum, kurangi penggunaan kendaraan pribadi. Tapi hal ini langsung didebat, mungkin terdengar ironi, di saat pemerintah menghimbau untuk lebih mengutamakan kendaraan umum, sudahkah kendaraan umum atau pun fasilitas pendukungnya memadai? Saya kira juga belum, seperti di Bali khususnya Denpasar, transportasi umum yang dapat dimanfaatkan untuk mobilisasi terasa sangat kurang. Akibatnya apa? Masyarakat tentunya pasti akan tetap lebih memilih untuk menggunakan kendaraan pribadinya daripada memaksa diri untuk memenuhi himbauan pemerintah untuk menggunakan kendaraan umum. Bahkan mungkin walaupun pajak kendaraan dinaikkan, masyarakat tetap memilih memakai kendaraan pribadi daripada bersusah-susah dengan transportasi umum yang dirasa kurang memadai. Maka, makin macetlah kota Denpasar apalagi saat musim liburan.
Jakarta? Pilihan transportasi sangat banyak, tapi kok ya masih macet saja? Ruwet dah kalau di Jakarta. Saya sendiri pernah mencoba naik metromini, kok ngebutnya bikin degdegan ya. Apalagi kalau udah action ikut-ikutan ambil jalur busway berpacu bersama roda dua yang gak kalah ngebutnya, sungguh bikin adrenalin makin terpompa. Kalau naik busway memang jarang, tapi udah lumayanlah, semoga armadanya bisa ditambah terus dan pelayanannya makin meningkat. Ada kebijakan penggunaan mobil 3in1 yang saya rasa tujuannya agar yang punya mobil pribadi "membagi" mobilnya dengan teman/keluarga/penumpang agar lebih efisien sehingga jumlah mobil yang masuk kawasan 3in1 lebih terkendali yang ternyata hanya membuat pemilik mobil lebih memilih menyewa "joki" justru untuk membuat mobilitasnya lebih fleksibel. Jadi, timbullah pertanyaan analogi ayam dan telur tadi, mana seharusnya lebih dahulu, inisiatif pemerintah untuk membangun fasilitas transportasi yang memadai atau aturan pembatasan kendaraan bagi para pengguna misalnya dengan pengenaan pajak kendaraan yang tinggi? Atau dua-duanya harus berjalan bersamaan? Mungkin gak langsung dijalankan bersamaan? Kalau emang bisa jangan-jangan telur dan ayam itu sebenarnya juga ada secara bersamaan. :p
Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone

Selasa, 31 Januari 2012

Penampahan Galungan

Tentunya ini bukan Penampahan Galungan pertama di Surabaya. Sepertinya sudah cukup lama,saya tidak merayakannya di Denpasar, berkumpul bersama keluarga, menikmati lawar, dan membuat penjor. Namun begitu, rangkaian Galungan kali ini benar-benar terasa istimewa walaupun tidak dirayakan di Denpasar karena inilah pertama kali keluarga kecil kami merayakannya dengan kehadiran si kecil berpipi tembem, Dhita :)
Dalam hati sebenarnya sangat mendambakan sekali kalau si kecil bisa diboyong buat merayakan Galungan bersama keluarga besar di Bali. Sudah kebayang aja dia bakal jadi "piala bergilir," tentunya bukan untuk diarak dan dimasukkan lemari, tapi ditimang-timang dan disayang-sayang. Sudah banyak keluarga yang bertanya kapan kira-kira si kecil bisa diajak pulang ke Bali, serempak dengan usul neneknya dulu bagaimana kalau si kecil tinggal di Bali aja. Tapi maaf ya kakek,nenek,om,tante,kakak.. Si kecil belum bisa merayakan Galungan dulu di Bali kali ini, namun rencana ke Bali bersama si kecil sepertinya akan terealisasi bulan April tahun ini bertepatan dengan rangkaian upacara ngaben kakeknya (ayah mertua) yang "kembali" bulan Nopember 2011 lalu.
Kembali ke bahasan Penampahan Galungan, dari pembacaan sekilas dari beberapa sumber, banyak yang memaknainya sebagai hari dimana kita sebagai manusia mengorbankan kemalasan kita yang disimbolkan dengan penyembelihan babi,ayam, dan sejenisnya sehingga diharapkan hal-hal yang menjadi sumber kemalasan,kebodohan kita dapat dikendalikan. Kenapa saya tidak memakai kata menghilangkan? Karena saya sendiri belum benar-benar bisa mengendalikan rasa malas dalam diri saya sendiri apalagi menghilangkannya, cukuplah yang dibahas di sini sesuai dengan kemampuan penulis aja :p
Makna dari Galungan itu sendiri sangat mulia, dari BM,sms,ucapan selamat sebagian besar memaknainya sebagai Kemenangan Dharma terhadap Adharma yang mungkin oleh sebagian besar teman-teman menterjemahkannya sebagai kemenangan kebenaran/kebaikan/kepahlawanan atas kesalahan/keburukan/kejahatan. Hal ini tidak salah, namun bagi saya pribadi, saya mencoba memaknainya dalam lingkup yang mungkin lebih sempit,terutama untuk diri saya sendiri,dimana kata Dharma sendiri saya maknai sebagai kewajiban. Jadi secara sempit saya maknai kemenangan Dharma ini adalah berhasilnya pelaksanaan kewajiban kita masing-masing sehari-hari. Mungkin terdengar remeh, kewajiban yang mana? Ya itu tergantung dari Varna (yang selama ini selalu dipandang sebagai Kasta) kita masing-masing. Misal : seorang Brahmana memiliki kewajiban memimpin pelaksanaan upacara. Jadi bagi saya, kemenangan Dharma bagi seorang Brahmana adalah saat dimana beliau dengan mantap mampu melaksanakan kewajibannya itu dengan sebaik-baiknya (walaupun ini mungkin terdengar agak naif dan sempit). Ambil contoh yang lebih sederhana lagi, misalnya mahasiswa, Dharma (kewajibannya) adalah belajar, jadi kemenangan Dharma dapat dia nikmati setiap hari (tidak hanya saat Galungan ) manakala dia berhasil mengendalikan malasnya untuk sekedar membaca atau melatih materi belajarnya. Mungkin terdengar remeh, tapi hal-hal yang remeh ini bila terakumulasi akan menjadi hal yang sangat penting, kemenangan-kemenangan Dharma kecil ini akan berkumpul menjadi kemenangan Dharma yang besar. Bayangkan saat tiap-tiap individu dari presiden suatu negara sampai tukang sampah benar-benar melakukan kewajibannya dengan tulus ikhlas dan sebaik-baiknya. Bagi saya itulah Dharma.
Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone

Senin, 30 Januari 2012

Piket dan piket

Terakhir ngalamin yang namanya dinas malam kayanya waktu tugas di lapangan dulu. Hidup rasanya terbalik, badan tidak pernah bugar so pasti karena jam tidur yang semrawut.
Tapi kali ini berbeda, ditugaskan piket di kantor. Piket dibagi menjadi dua, yaitu piket P dimana kita ditugaskan mulai dari jam pulang kantor (pukul 17.00 sampai dengan pukul 20.00) dan piket SM dimana kita ditugaskan untuk piket selama 24 jam (07.30 sampai 07.30 hari berikutnya),dahsyat kan? Walaupun terhitung pegawai lama di sini, tapi terasa baru setelah lewat 2 tahun gak ngantor. Ada wajah-wajah kenal yang belum saya kenal, bangunan dan ruangan yang juga baru, sistem baru, kepala kantor baru dan hal-hal baru lainnya.
Mulai lagi di dunia kantor dah..
Semangat!!! *tepok2 pipi*
Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone