Sabtu, 16 November 2013

Bay Say #3

"Dan level tersabar yang bisa dicapai oleh seorang pria adalah ketika dia menjadi seorang kakek .. :)"

Sabtu, 09 November 2013

Post Malam Minggu

Matahari Sang Pemberi
Kira-kira diantara kita ada yang pernah merasa galau gak? Sedih tanpa sebab mungkin? Perasaan gak nyaman entah kenapa? Tidak diketahui penyebabnya? Sudah cukup secara materi atau pun tidak cukup secara materi selalu merasa ada yang salah? Mood rasanya kacau terus, selalu terasa ada yang salah? Apa-apa yang dikerjakan rasanya kurang pas, meleset, gak ada 'feel'-nya.. Bahkan kadang ada yang ekstrem seperti hidup segan mati tak mau.
Well, ini pengalaman pribadi saya :
Ketika itu (entah kapan, maaf lupa waktunya, mungkin tidak lebih dari sebulan yang lalu), saya dipindahtugaskan kembali ke tanah kelahiran, siapa yang gak senang coba? Saat baca surat keputusan mutasinya memang rasanya dag dig dug suer, masih bisa disyukuri bahwa lokasi berikutnya yang harus diarungi ternyata kampung halaman sendiri. Berhubung keluarga tidak bisa langsung ikut berangkat, sementara saya mendahului memulai tugas di kampung halaman.
Kantornya asyik, orangnya ramah-ramah, situasi kerja sepertinya sangat mendukung, lebih-lebih banyak hari liburnya :p (maklum, Bali broh!) Sehari dua hari gak ada masalah, seminggu mulai terasa, kaya ada yang salah, entah kenapa tapi tidak terdeteksi. Ada apa ini ya, dalam hati selalu terngiang-ngiang pertanyaan yang sama. Apa ada yang salah ya? Perasaan sembahyang sudah, ijin keluarga dan orang tua sudah, pamitan dengan orang-orang kantor sebelumnya sudah, adaptasi dengan suasana kantor yang baru juga sudah dijalankan, kondisi dan situasi kerja juga enak, TIDAK ADA masalah. Akhirnya saya jadi banyak merenung, sambil mikir-mikir, terasa ada yang kurang, seperti ada hal yang harus dilakukan, yang masih tertunda.
Hari itu, sepulang dari tempat kerja, spontan saja tiba-tiba hasrat makan bakso tiba-tiba muncul, sekonyong-konyongnya memarkir motor di suatu warung bakso gitu, langsung pesan, langsung lumayan kenyang, langsung minum, langsung bengong mikir-mikir lagi. Ada apa gerangan ini? Tiba-tiba secara tidak sengaja saya melihat sebuah kotak kaca yang bertuliskan "DANA PUNIA" atau dalam bahasa umumnya dapat dipersamakan dengan "SUMBANGAN" kalau tidak salah untuk saudara-saudara kita yang membutuhkan. Langsung seperti kaya kepala ditepok dari belakang, oalahhhhhh... ini rupanya!!!! Hal ini ternyata yang mengganjal selama ini. Langsung masukkan uang sumbangan ke kotak sumbangan itu, tidak  sampai sepuluh detik kok ya tiba-tiba hati langsung terasa cerah, pikiran jadi plong, seperti suatu beban yang sangat berat diangkat dari tengkuk leher ini. Aneh gak?
Percaya atau tidak, ini teori pribadi saya. Manusia itu sebenarnya makhluk yang doyan berbagi, liat saja (saya tahunya ini dari pelajaran Sejarah SMP dulu), ketika di jaman purba dulu ada yang namanya kehidupan yang nomaden (berpindah-pindah) manusia purba tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, pemikirannya belum seperti manusia jaman sekarang tapi tetap secara naluriah mereka berburu dan meramu makanan. Hal yang patut dicermati di sini, ketika manusia purba berburu dan meramu siapa saja yang menikmati? Ternyata tidak hanya yang berburu saja yang menikmati, tapi semua anggota komunitasnya. Sampai-sampai ada bekas-bekas dapur mereka yang menjadi fosil, mereka menikmati bersama, berbagi bersama. Jadi secara pribadi saya menyimpulkan bahkan pada jaman nenek moyang kita yang menjalani hidupnya mungkin masih dengan naluri untuk bertahan hidup saja mereka secara naluriah pula sudah berbagi. Apa hubungannya dengan sekarang? Gen dan DNA kita berasal dari mereka, saya percaya naluri untuk berbagi itu masih ada bersama kita. Ketika kita sudah mampu memenuhi segala kebutuhan keluarga kita, secara naluriah ada bagian dari dalam diri kita yang tetap ingin untuk berbagi. Berbagi atau bisa kita sebut memberi itulah yang membuat manusia menjadi lengkap, menjadikan manusia sebagai dirinya yang seutuhnya.
Jadi satu kesimpulan kecil dari saya : ketika anda merasa gundah gulana tanpa sebab, galau, sedih yang tidak jelas ujung pangkalnya, MEMBERILAH/BERBAGILAH! itu memang sudah menjadi naluri kita sebagai manusia, jangan ditahan-tahan. Memberi / berbagi di sini tidak harus dalam bentuk uang, bisa barang, bisa berupa bantuan, pokoknya apapun yang bisa diberikan bahkan secuil senyum deh! Silakan berikan, silakan bagikan dan niatkan bahwa pemberian itu tidak mengharapkan imbal balik, pokoknya memberi itu ya karena ingin memberi. Coba saja buktikan :)

Minggu, 12 Mei 2013

Begitulah...

Mereka berbicara tentang etika, moral, kepantasan, kepuasan, dan pencapaian..
Mencerca yang lain, tidak cukup disimpan dalam benak, dibuat tulisan, dibuat rekaman, dibuat videonya dan diupload di sosial media..
Mereka yang berhasil, penuh kemenangan tanpa kenal menyerah...
Mereka yang berputus asa terongok dalam gelapnya sendiri..
Mereka pula yang tertawa, menangis, menahan amarah, sekaligus berbangga hati..
Tangan-tangan mereka menggenggam, tidak hanya menggenggam tangan kami, tapi mencengkeram tangan-tangan mereka sendiri...
Selalu ada sedikit tawa pada air mata, atau air mata pada tawa
Entah siapa, kapan, bagaimana, mengapa atau untuk apa?

Mereka yang membuat kami tertawa sekaligus menangis
Membuat perut kami bergemuruh menahan tawa sekaligus amarah
Mengejutkan benak kami bahwa yang tak kami pikirkan itu ada
Membuat kami tersenyum getir, nyinyir!
Mereka kawan kami yang dicinta sekaligus musuh kami yang dibenci
Mereka junjungan kami sekaligu budak belian yang kami injak-injak tiap hari
Mereka pula pahlawan yang kami puja sekaligus pengkhianat jahat yang kami ludahi.. cuih...


menganti, 12 Mei 2013

Minggu, 14 April 2013

I Wayan Sudarma

Kecil saya dulu pas SD, ada seorang teman kami, namanya I Wayan Sudarma, ayahnya seorang buruh tani, merangkap sebagai pengurus ternak, rumahnya berdinding anyaman bambu di tengah-tengah tegalan, sebuah tegalan di tengah rimba aspal yang mulai mengancam tempat kami.
Sudarma, begitu kami memanggilnya, tergambar senyumnya yang tulus tiap kali namanya kami panggil, sungguh pribadi anak berwatak ulet yang tak pernah kenal lelah. Buku catatannya yang tercampur, yang selalu dia selipkan di selipan celana merah SD di belakang punggungnya itu, kami tahu dia bukan sedang bergaya, kami sudah mengerti itulah salah satu buku yang dapat dia manfaatkan sebagai catatan. Sudarma tidak seberuntung kami yang bisa mencatat masing-masing pelajaran dalam buku-buku yang berbeda, dia juga tidak semujur saya yang ada seragam putih merah lebih dari dua setel, namun begitu Sudarma jarang sekali menolak ajakan kami main benteng-bentengan pas jam istrahat, dan kami tahu dia masih mengenakan setelan yang sama untuk hari-hari berikutnya walaupun telah lusuh oleh keringat.
Sudarma bukanlah yang terpintar, dan kami tahu dia kadang-kadang tidak mengerti juga dengan materi pelajaran, namun kami tahu fisiknya melebihi kami. Badannya ditempa setiap hari ketika membantu ayahnya mencari rumput untuk sapi peliharaannya, Sudarma sangat ahli menggunakan cangkul, sabit, dan alat kerja lainnya. Saat kami takut tangan melepuh mengayunkan cangkul, dia dengan senyum tulusnya menunjukkan pada kami bagaimana seharusnya cangkul itu digunakan. Tangannya sangat lihai ketika mengarit rumpu-rumput liar di kebun sekolah kami.
Kadangkala nama Sudarma muncul di papan absen kami, menggantikan Nihil. Kami tahu bukan maunya dia seperti itu, kami tahu bahwa kadang-kadang ayahnya sakit, dan dialah yang menemeni ayahnya yang sakit dan merawatnya.
Sampai saat itu datang, ketika dengan penuh rasa ragu Sudarma ingin bercerita, namunn ceritanya selalu tertahan. Ceritanya terkait erat dengan kelanjutannya dia bersekolah, kami sungguh bodoh, tidak bisa memahami maksudmu. Entah kenapa kami baru mengerti ketika datang hari-hari dimana kamu tidak datang ke sekolah lagi, bahkan saat namamu sudah tidak ada dalam daftar absen kelas lagi.
Tribute to I Wayan Sudarma, di mana pun engkau kini. Kami yakin kamu jauh lebih hebat daripada kami.


Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone

Jumat, 22 Februari 2013

Sejenak Siang

Tampak dengan tenang, anak tersayang masih melonjak-lonjak girang. Sang Kakek mengejar-ngejar penuh senyum, Ibu masih berkutat dengan belenggu emasnya. Ketika Si Bapak menuju luar kota bertugas, sekelebat ingatannya tetap lekat membayang, akan rumah di sana yang kecil nan hangat.

Pasuruan, Jumat Siang Ini
Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone