Senin, 23 September 2019

Sumur Kering




Aku sedang berdiri memandangi sumur kering. Tampaknya sudah kering, karena kerikil kecil yang aku lempar sebelumnya tidak menimbulkan suara gemericik air. Dasarnya yang gelap pun tidak dapat aku lihat. Aku cukup yakin sumur ini sudah kering.
Cukup lama aku memandang kegelapannya, dengan hatiku yang tetap bertanya-tanya. 
Apa yang harus aku lakukan?
Desa kami telah kekeringan. Sepertinya kekeringan sudah cukup meluas, tidak hanya di desa kami, tapi juga di desa-desa tetangga. Dulu tidak seperti ini, sungai mengalir sepanjang tahun, pemerintah yang mengelola perusahaan air minum, air bersih yang kami gunakan untuk hidup sehari-hari.
Aku bukan tipe orang yang suka menyalahkan, tapi ini adalah kesalahan kami semua. Kami terlalu terbuai. Pulau kami adalah pulau kecil, penduduknya tidak banyak, tapi banyak sekali orang-orang yang mengunjungi pulau kami. Mereka menyukai kami, menyukai cara kami hidup, menyukai keindahan alam kami, sampai kami pun balik menyukai mereka. Awalnya hanya kami anggap sebagai tamu, kami akhirnya anggap sebagai keluarga kami. Tapi lama kelamaan kami mengganggapnya sebagai sumber penghasilan kami.
Hidup sebagai petani telah kami tinggalkan, sawah-sawah kami relakan untuk menjadi permukiman yang nyaman untuk kenyamanan “sumber penghasilan” kami yang baru itu. Tak apalah, toh nanti beras atau makanan yang lain bisa kami beli dari uang yang kami dapat dari mereka. Semua yang kami lakukan juga tidak menyebabkan kerugian bagi kami maupun orang lain, selama semua senang.
Makin lama, jumlah pengunjung yang datang ke pulau kami semakin banyak. Tidak semua ternyata hanya berkunjung. Belakangan ini mereka juga mengundang pengunjung lain dan seolah bertindak menjadi tuan rumah. Seperti kami. Kami tidak apa-apa, toh masih ada banyak pengunjung lain yang akan datang lagi ke pulau kami.
Pemerintah pun juga sudah membuat prioritasnya untuk mengurus pulau kami. Pengunjung harus semakin meningkat setiap tahunnya untuk menambah pundi-pundi pemerimaan negara. Program-program pemerintah khususnya untuk pulau kami adalah untuk memajukan segala keperluan agar pengunjung ke pulau kami semakin meningkat.
Kami pun diarahkan untuk semakin mencintai dan meningkatkan cara hidup seperti budaya yang kami miliki. Kata pemerintah, itulah yang membuat pulau kami banyak dikunjungi pengunjung dari mana pun dari seluruh penjuru dunia. Kami pun menurut saja, tidak ada yang dapat kami lakukan. Sawah-sawah kami sudah tidak ada, dan keturunan-keturunan kami sudah tidak ada yang mau menjadi petani. Suplai hidup semua kami beli dari pulau lain kalau tidak ada kami datangkan dari negara lain. Kami masih bisa hidup tenang.
Dan air pun habis.
Pulau kecil kami sudah banyak kehilangan mata air. Sungai banyak yang mengering, danaunya banyak yang mendangkal dengan kualitas air yang memprihatinkan. Sawah-sawah yang tersisa tidak mendapat suplai air yang cukup sehingga saudara-saudara kami yang tetap bertani semakin sulit untuk meneruskan usaha bertaninya.
Maka dari desaku, aku diutus untuk mencari sumber air baru. Entah harus ke mana?
Sumur ini bukanlah sumur kering pertama yang aku temui. Para pengunjung pulau kami semakin berkurang. Untuk apa pulau indah tanpa air bersih. Kita manusia tidak bisa hidup tanpa air.
Di dalam hatiku kadang juga merasa marah. Pulau kami ternyata tidak sekuat itu menanggung kebutuhan air untuk penduduk dan pengunjungnya. Pengunjung hanya tinggal sementara di pulau kami, saat mereka merasa ada sesuatu yang tidak beres, mereka masih bisa kembali ke tempat asalnya. Pulau asalnya, negara asalnya.
Bagiku, saat ini semua sudah terjadi.
Tidak ada gunanya lagi menyesali apalagi menyalahkan. Yang terpenting aku harus dapat menunaikan tugasku, untuk menemukan sumber air baru. Setidaknya, membawa kabar baik, bagi penduduk di desaku, yang sedang kekeringan, tanpa air bersih, tanpa hujan.
Semua menjadi campur aduk dalam kepalaku.
Sambil tetap memandangi sumur kering yang kelam itu.