Aku sedang berdiri
memandangi sumur kering. Tampaknya sudah kering, karena kerikil kecil yang aku
lempar sebelumnya tidak menimbulkan suara gemericik air. Dasarnya yang gelap
pun tidak dapat aku lihat. Aku cukup yakin sumur ini sudah kering.
Cukup lama
aku memandang kegelapannya, dengan hatiku yang tetap bertanya-tanya.
Apa yang harus aku lakukan?
Desa kami
telah kekeringan. Sepertinya kekeringan sudah cukup meluas, tidak hanya di desa
kami, tapi juga di desa-desa tetangga. Dulu tidak seperti ini, sungai mengalir
sepanjang tahun, pemerintah yang mengelola perusahaan air minum, air bersih
yang kami gunakan untuk hidup sehari-hari.
Aku bukan
tipe orang yang suka menyalahkan, tapi ini adalah kesalahan kami semua. Kami terlalu
terbuai. Pulau kami adalah pulau kecil, penduduknya tidak banyak, tapi banyak
sekali orang-orang yang mengunjungi pulau kami. Mereka menyukai kami, menyukai
cara kami hidup, menyukai keindahan alam kami, sampai kami pun balik menyukai
mereka. Awalnya hanya kami anggap sebagai tamu, kami akhirnya anggap sebagai
keluarga kami. Tapi lama kelamaan kami mengganggapnya sebagai sumber
penghasilan kami.
Hidup sebagai
petani telah kami tinggalkan, sawah-sawah kami relakan untuk menjadi permukiman
yang nyaman untuk kenyamanan “sumber penghasilan” kami yang baru itu. Tak
apalah, toh nanti beras atau makanan yang lain bisa kami beli dari uang yang
kami dapat dari mereka. Semua yang kami lakukan juga tidak menyebabkan kerugian
bagi kami maupun orang lain, selama semua senang.
Makin lama,
jumlah pengunjung yang datang ke pulau kami semakin banyak. Tidak semua
ternyata hanya berkunjung. Belakangan ini mereka juga mengundang pengunjung
lain dan seolah bertindak menjadi tuan rumah. Seperti kami. Kami tidak apa-apa, toh masih ada banyak pengunjung lain yang akan datang lagi ke pulau kami.
Pemerintah pun
juga sudah membuat prioritasnya untuk mengurus pulau kami. Pengunjung harus
semakin meningkat setiap tahunnya untuk menambah pundi-pundi pemerimaan negara.
Program-program pemerintah khususnya untuk pulau kami adalah untuk memajukan
segala keperluan agar pengunjung ke pulau kami semakin meningkat.
Kami pun
diarahkan untuk semakin mencintai dan meningkatkan cara hidup seperti budaya
yang kami miliki. Kata pemerintah, itulah yang membuat pulau kami banyak
dikunjungi pengunjung dari mana pun dari seluruh penjuru dunia. Kami pun
menurut saja, tidak ada yang dapat kami lakukan. Sawah-sawah kami sudah tidak
ada, dan keturunan-keturunan kami sudah tidak ada yang mau menjadi petani. Suplai
hidup semua kami beli dari pulau lain kalau tidak ada kami datangkan dari negara
lain. Kami masih bisa hidup tenang.
Dan air pun
habis.
Pulau kecil
kami sudah banyak kehilangan mata air. Sungai banyak yang mengering, danaunya
banyak yang mendangkal dengan kualitas air yang memprihatinkan. Sawah-sawah
yang tersisa tidak mendapat suplai air yang cukup sehingga saudara-saudara kami
yang tetap bertani semakin sulit untuk meneruskan usaha bertaninya.
Maka dari desaku,
aku diutus untuk mencari sumber air baru. Entah harus ke mana?
Sumur ini
bukanlah sumur kering pertama yang aku temui. Para pengunjung pulau kami semakin
berkurang. Untuk apa pulau indah tanpa air bersih. Kita manusia tidak bisa
hidup tanpa air.
Di dalam
hatiku kadang juga merasa marah. Pulau kami ternyata tidak sekuat itu
menanggung kebutuhan air untuk penduduk dan pengunjungnya. Pengunjung hanya
tinggal sementara di pulau kami, saat mereka merasa ada sesuatu yang tidak
beres, mereka masih bisa kembali ke tempat asalnya. Pulau asalnya, negara asalnya.
Bagiku, saat
ini semua sudah terjadi.
Tidak ada
gunanya lagi menyesali apalagi menyalahkan. Yang terpenting aku harus dapat
menunaikan tugasku, untuk menemukan sumber air baru. Setidaknya, membawa kabar
baik, bagi penduduk di desaku, yang sedang kekeringan, tanpa air bersih, tanpa
hujan.
Semua menjadi
campur aduk dalam kepalaku.
Sambil tetap
memandangi sumur kering yang kelam itu.