Minggu, 31 Mei 2020

Jojo Rabbit

Begitu berkesannya, sampai saya coba gambar lagi adegan penutup film ini.


Awalnya skeptis ketika pertama kali melihat trailer dari film ini. Itu kok Taiki ala-ala pakai kumis Jojon seperti Adolf Hitler, total sama sekali berbeda dengan tampilan aslinya. Jadi bertanya-tanya kalau memang film ini tentang seorang diktaktor Jerman, lha kok gitu banget tampilannya. Mungkin karena sebelumnya saya melihat tampilan Winston Churchil yang diperankan Gary Oldman dalam Darkest Hour (itupun hanya dalam trailer saja) yang begitu miripnya secara fisik.
Rupanya saya salah. Film ini jauh dari sebuah kisah tentang Hitler saja, lebih dari sekadar itu. Taiki Waititi jenius di film ini. 
Jojo Rabbit bagi saya unggul jauh dari penceritaan. Si anak pemeran Jojo (Johannes Betzler) entah karena aktingnya yang memang bagus atau memang anak itu memang seperti itu adanya, pembawaannya terlihat sangat nyaman memerankan seorang anak kecil yang begitu mengidolakan Hitler. Saya  dibuat tersenyum sekaligus terenyuh menonton bagaimana cara kisah yang mungkin sebenarnya adalah sebuah tragedi, tidak hanya bagi Jojo namun bagi sebagian besar tokoh-tokohnya namun tetap ditampilkan secara komedi yang masih bisa membuat saya tertawa ngakak di beberapa adegannya. Bisa jadi ini yang dinamakan Tragikomedi, namun hebatnya bisa menampilkan sudut pandang penceritaan dari seorang anak berusia 10 tahun yang dunianya masih banyak dengan persepsi peralihan dari dunia anak-anak menuju realita yang terkadang memang pahit adanya. 
Secara cerdas Taiki yang juga ikut memainkan peran sebagai Adolf Hitler ini menampilkan pergulatan yang pasti terjadi dalam diri setiap orang yang disimbolkan dengan penokohan Adolf Hitler sendiri dalam benak seorang anak yang sangat mengidolainya. 
Secara pribadi, saya menilai inilah penampilan terbaik Scarlett Johansson, bahkan melebihi aksi-aksi luar biasanya sebagai Black Widow (sudah pasti beda genre film). Saya jadi merinding sendiri setiap mengingat adegan mengikat tali sepatu yang sepertinya memang sudah dikondisikan dari awal untuk adegan yang nantinya akan mengubah cara pandang seorang anak pengagum Hitler dan NAZI yang berusia 10 tahun.
Film yang bagus. 

Minggu, 17 Mei 2020

Karantina Pikiran



Karantina Hari Ke-sekian..

Entah sejak kapan. Pikiran liar mulai berkecamuk dalam benak Des Roy. Begitu dia dipanggil. Des Roy berinisiatif mengkarantina dirinya sendiri. Bahkan sebelum virus covid-19 ini merajalela.
Semua dimulai dengan mengkarantina pikirannya sendiri. Mulai tidak memikirkan hal-hal yang menurutnya akan merepotkan dirinya sendiri.
Seliar apa pikiranmu sehingga setelah kau karantina dia malah bergejolak, bagai kuda liar mengamuk di sungai dangkal?
Des Roy mulai berpikir. Mungkin ini karena dia terlalu awal memulai karantinanya, mungkin sejak pertengahan 2019. Dia tidak berpikir itu hal yang konyol, karena sudah diputuskannya sendiri, sejak dia merasa hubungan antar manusia ternyata memberatkan pikirannya. 
Pikiran Des Roy mulai bingung sendiri ketika dihadapkan pada kenyataan, bahwa manusia itu tidak hanya bertanggung jawab terhadap dirinya, tapi juga terhadap orang lain. Membentuknya menjadi sebuah ikatan.
Ketika pikirannya memikirkan hal yang telah lewat, yang timbul adalah penyesalan. Ketika dia mencoba memikirkan apa yang akan terjadi besok, seminggu lagi, sebulan lagi atau bertahun-tahun kemudian, yang dia rasakan hanya kekhawatiran. Jadi, menurut Des Roy pikiran ini harus dikarantina. Dikarantina sekarang, saat ini, momen ini, detik ini. Hanya saja Des Roy bingung sendiri. Bagaimana melakukannya.
Hidup saat ini, menempatkan pikirannya hanya untuk saat ini, seperti menangkap air yang bercucuran dengan tangan kosong, pikirnya. Kita butuh sebuah wadah, sebuah alat untuk membantu tangan kosong itu, pikir Des Roy.
Toh tidak bisa ke mana-mana lagi, Des Roy pun hanya tinggal sendiri. Dia berpikir akan menggunakan sebuah sempoa untuk membantu “menangkap” dan mengkarantina pikirannya sendiri.
Setiap pikirannya mulai berkelana, Des Roy akan memanggilnya kembali dengan menggeser sebiji sempoa untuk dipindahkan. Sambil duduk tenang di kamarnya, yang mulai menggelap walaupun hari belum malam. Jemarinya yang panjang dan lincah dengan sigap memindahkan biji-biji dalam sempoa nya. Dari yang awalnya bergerak cepat semakin lama semakin lambat, terus melambat. Des Roy sepertinya tidak menyadari itu. Seonggok sepi tiba-tiba merambat, membalur tubuhnya yang semakin  lama semakin menunduk.
Des Roy tenggelam dalam pikirannya sendiri. Saat itu.
Dia berharap bangkit lagi, saat wabah ini telah usai. ***