Senin, 17 Agustus 2020

Pantai Maimol, Alor

Tidak pernah sedikitpun saya menyangka akan menginjak tanah pulau Alor dan itu terwujud pada akhir bulan Juli 2020. Dulu, ketika mendengar kata Alor, seperti sebuah tempat yang sangat jauh, dan itu ada benarnya karena saya tinggal di pulau Bali. Untuk mencapai pulau Alor, saya berangkat dari bandara El Tari, Kupang dengan pesawat ATR. Perjalanan ditempuh selama kurang lebih 50 menit untuk sampai di bandara Mali, Alor. Saya menjadi geli sendiri, nama bandara dan pulaunya sama-sama berkesan jauh.

Dari bandara Mali menuju hotel melewati pantai Maimol. Lagi-lagi pelafalan nama pantainya yang sungguh mirip dengan pelafalan “my mall”, bagi saya terkesan menarik. Saya menyempatkan untuk membeli kelapa muda dan meminumnya di pinggir pantai Maimol. Pantainya? Indah sekali. Entah, apa karena sedang pandemi covid-19 atau memang setiap harinya selalu sepi seperti hari itu, pantai Maimol yang indah sangat lenggang. Saat itu tepat tengah hari, tidak menyurutkan niat saya untuk turun sejenak merasakan sejuknya air pantai Maimol walau hanya sebatas mencelupkan kaki. Air lautnya jernih, dasar yang dangkal tampak, sama jelasnya dengan bagian laut yang dalam dengan warna biru yang jauh lebih gelap. Bila kita memandang lurus dari pinggiran pantai, akan langsung disuguhi oleh pemandangan teluk Mutiara yang dikelilingi perbukitan yang saya yakin akan tampak lebih hijau pada kesempatan yang lain. Pantai Maimol dalam hal tersendiri memiliki keunggulan dari pantai di Bali, tentunya bila kamu tidak mencari pantai yang langsung ada tempat nongkrong keren di pinggirnya dan keramaian.


Minggu, 31 Mei 2020

Jojo Rabbit

Begitu berkesannya, sampai saya coba gambar lagi adegan penutup film ini.


Awalnya skeptis ketika pertama kali melihat trailer dari film ini. Itu kok Taiki ala-ala pakai kumis Jojon seperti Adolf Hitler, total sama sekali berbeda dengan tampilan aslinya. Jadi bertanya-tanya kalau memang film ini tentang seorang diktaktor Jerman, lha kok gitu banget tampilannya. Mungkin karena sebelumnya saya melihat tampilan Winston Churchil yang diperankan Gary Oldman dalam Darkest Hour (itupun hanya dalam trailer saja) yang begitu miripnya secara fisik.
Rupanya saya salah. Film ini jauh dari sebuah kisah tentang Hitler saja, lebih dari sekadar itu. Taiki Waititi jenius di film ini. 
Jojo Rabbit bagi saya unggul jauh dari penceritaan. Si anak pemeran Jojo (Johannes Betzler) entah karena aktingnya yang memang bagus atau memang anak itu memang seperti itu adanya, pembawaannya terlihat sangat nyaman memerankan seorang anak kecil yang begitu mengidolakan Hitler. Saya  dibuat tersenyum sekaligus terenyuh menonton bagaimana cara kisah yang mungkin sebenarnya adalah sebuah tragedi, tidak hanya bagi Jojo namun bagi sebagian besar tokoh-tokohnya namun tetap ditampilkan secara komedi yang masih bisa membuat saya tertawa ngakak di beberapa adegannya. Bisa jadi ini yang dinamakan Tragikomedi, namun hebatnya bisa menampilkan sudut pandang penceritaan dari seorang anak berusia 10 tahun yang dunianya masih banyak dengan persepsi peralihan dari dunia anak-anak menuju realita yang terkadang memang pahit adanya. 
Secara cerdas Taiki yang juga ikut memainkan peran sebagai Adolf Hitler ini menampilkan pergulatan yang pasti terjadi dalam diri setiap orang yang disimbolkan dengan penokohan Adolf Hitler sendiri dalam benak seorang anak yang sangat mengidolainya. 
Secara pribadi, saya menilai inilah penampilan terbaik Scarlett Johansson, bahkan melebihi aksi-aksi luar biasanya sebagai Black Widow (sudah pasti beda genre film). Saya jadi merinding sendiri setiap mengingat adegan mengikat tali sepatu yang sepertinya memang sudah dikondisikan dari awal untuk adegan yang nantinya akan mengubah cara pandang seorang anak pengagum Hitler dan NAZI yang berusia 10 tahun.
Film yang bagus. 

Minggu, 17 Mei 2020

Karantina Pikiran



Karantina Hari Ke-sekian..

Entah sejak kapan. Pikiran liar mulai berkecamuk dalam benak Des Roy. Begitu dia dipanggil. Des Roy berinisiatif mengkarantina dirinya sendiri. Bahkan sebelum virus covid-19 ini merajalela.
Semua dimulai dengan mengkarantina pikirannya sendiri. Mulai tidak memikirkan hal-hal yang menurutnya akan merepotkan dirinya sendiri.
Seliar apa pikiranmu sehingga setelah kau karantina dia malah bergejolak, bagai kuda liar mengamuk di sungai dangkal?
Des Roy mulai berpikir. Mungkin ini karena dia terlalu awal memulai karantinanya, mungkin sejak pertengahan 2019. Dia tidak berpikir itu hal yang konyol, karena sudah diputuskannya sendiri, sejak dia merasa hubungan antar manusia ternyata memberatkan pikirannya. 
Pikiran Des Roy mulai bingung sendiri ketika dihadapkan pada kenyataan, bahwa manusia itu tidak hanya bertanggung jawab terhadap dirinya, tapi juga terhadap orang lain. Membentuknya menjadi sebuah ikatan.
Ketika pikirannya memikirkan hal yang telah lewat, yang timbul adalah penyesalan. Ketika dia mencoba memikirkan apa yang akan terjadi besok, seminggu lagi, sebulan lagi atau bertahun-tahun kemudian, yang dia rasakan hanya kekhawatiran. Jadi, menurut Des Roy pikiran ini harus dikarantina. Dikarantina sekarang, saat ini, momen ini, detik ini. Hanya saja Des Roy bingung sendiri. Bagaimana melakukannya.
Hidup saat ini, menempatkan pikirannya hanya untuk saat ini, seperti menangkap air yang bercucuran dengan tangan kosong, pikirnya. Kita butuh sebuah wadah, sebuah alat untuk membantu tangan kosong itu, pikir Des Roy.
Toh tidak bisa ke mana-mana lagi, Des Roy pun hanya tinggal sendiri. Dia berpikir akan menggunakan sebuah sempoa untuk membantu “menangkap” dan mengkarantina pikirannya sendiri.
Setiap pikirannya mulai berkelana, Des Roy akan memanggilnya kembali dengan menggeser sebiji sempoa untuk dipindahkan. Sambil duduk tenang di kamarnya, yang mulai menggelap walaupun hari belum malam. Jemarinya yang panjang dan lincah dengan sigap memindahkan biji-biji dalam sempoa nya. Dari yang awalnya bergerak cepat semakin lama semakin lambat, terus melambat. Des Roy sepertinya tidak menyadari itu. Seonggok sepi tiba-tiba merambat, membalur tubuhnya yang semakin  lama semakin menunduk.
Des Roy tenggelam dalam pikirannya sendiri. Saat itu.
Dia berharap bangkit lagi, saat wabah ini telah usai. ***

Jumat, 20 Maret 2020

Kupu-Kupu Putih


Di rumahku ada kebun yang cukup rimbun dan hijau. Itu merupakan tempat bermain favoritku semenjak aku kecil. Kami bisa melakukan permainan apapun yang kami inginkan. Petak umpet, petak lari, bermain layangan sampai bermain silat-selatan atau sekedar kejar-kejaran. Banyak teman masa kecilku yang suka bermain ke rumahku karena ada kebun yang hijau ini.
Kebun kecil ini awalnya hanya sekedar keisengan ayah saat mengisi masa pensiunnya. Dimulai dengan menanam beberapa pohon kamboja jepang, kembang kertas, yang kemudian diikuti ibu yang mulai menanaminya dengan mawar, menambahkan anggrek dan sejumlah tanaman serupa bayam hias dengan daun-daunnya yang berwarna merah dengan pinggiran hijau pucat, bunga soka dan tak lama ada selusin tanaman lain yang aku tidak kenali nama maupun jenisnya. Tapi yang terpenting dari semua itu, ayah menanami lahan di sekitar tanaman dengan rumput hijau Jepang yang menurutku merupakan rumput yang paling ideal untuk ditiduri. Apalagi saat tumbuhnya sudah merata, sangat cocok untuk dijadikan tempat bermain silat-silakan, minimal untuk mengurangi efek benturan saat terjatuh baik yang disengaja maupun tidak.
Selain kami, para serangga juga sangat menyukai keberadaan kebun ini. Tak kurang dari mulai capung, kumbang, lebah, kupu-kupu, sampai ulat seperti beramai-ramai mengunjungi kebun rumahku ini. Dari semua “tamu” yang mengunjungi kebun kami ini, kupu-kupu putih yang paling menarik perhatianku. Meskipun anak-anak lain selalu lebih mengidolakan kupu-kupu barong dengan sayap gagahnya yang penuh ornamen, tapi aku selalu terpana melihat kupu-kupu putih. Kupu-kupu putih terlihat mencolok dan sederhana di saat yang bersamaan. Kilau putih sayapnya selalu terlihat kontras dengan sekelilingnya akan tetapi putih yang sama terlihat paling polos bila dibandingkan dengan sayap kupu-kupu lainnya.
Ayahku selalu yang paling tahu dan bisa menangkap rasa kagumku pada kupu-kupu putih. Begitu kupu-kupu putih terlihat di kebun kami, biasanya aku akan heboh sendiri, langsung memanggil ayah untuk memberitahukannya bahwa kupu-kupu putih telah datang. Ayah akan memangkuku sambil bercerita tentang kupu-kupu putih ini. Cerita yang masih selalu kuingat hingga saat ini.
“Kupu-kupu putih bukanlah serangga biasa nak. Mereka adalah para pendahulu kita, yang sudah meninggal, datang ke dunia ini lagi untuk melihat garis keturunannya. Apakah mereka baik-baik saja atau hidupnya bermasalah”, cerita ayah.
“Maksud ayah mereka adalah hantu?”, tanyaku dengan penasaran.
Sambil tersenyum ayah biasanya hanya terdiam kemudian mengelus-elus rambutku perlahan. Seperti sengaja tidak menjawab pertanyaanku.
Pertanyaan yang mungkin akan terjawab nanti...




Denpasar, 20 Maret 2020
Di tengah kepanikan virus Corona dan saat ini kupu-kupu putih masih sering terlihat di kebun rumah kami ini.

Rabu, 18 Maret 2020

Corona

@BWraspati

Tidak sedikit pun terbersit dalam benak Pak Djarot, virus yang pertama kali muncul di negeri China nun jauh di sana sampai di Indonesia. Namanya yang mirip merk bir kesukaan Pak Djarot, tentunya waktu muda dulu namun sekarang sudah tidak lagi. Seingat Pak Djarot, yang namanya penyakit selalu menyesuaikan jaman dengan manusianya (penderitanya), hanya saja Pak Djarot tidak menyangka bentuk penyakit yang dihasilkan oleh corona begitu miripnya dengan flu biasa sehingga pembawa virusnya bisa saja tidak menyadari bahwa dia telah terkena virus corona sampai benar-benar daya tahan tubuhnya menurun dan akhirnya menunjukkan gejala klinis setelah jangka waktu kurang lebih 14 hari.
Pak Djarot kemudian mengecek handphonenya, banyak sekali informasi yang masuk dan justru membuatnya bertambah bingung karena banyak info beredar yang belum bisa dipastikan kebenarannya. Pak Djarot takut sendiri untuk meneruskan info yang belum bisa dipastikan kebenarannya itu. Lebih-lebih yang banyak beredar di dalam grup whatsapp keluarga besarnya.
Tapi dari semua teori yang beredar di dunia maya, ada satu teori yang menarik bagi Pak Djarot. Teori yang menyatakan bahwa, adanya virus corona ini adalah suatu keniscayaan untuk menjaga keseimbangan dunia. Bahwa manusialah sebenarnya “virus” bagi dunia ini, sedangkan corona sendiri adalah mekanisme alam untuk menjaga jumlah manusia agar tetap seimbang, agar tidak terlalu banyak, yang dapat mengganggu keseimbangan alam dunia ini.
Bagi Pak Djarot, teori ini terdengar masuk akal baginya, karena apapun bentuknya, kejadian-kejadian yang menyebabkan berkurangnya populasi manusia dengan cukup drastis bukan hanya sekali ini terjadi. Sejarah mencatat tidak hanya penyakit, bahkan manusia sendiri bisa “saling mengurangi” populasinya satu sama lain. Perang dunia I dan II telah mengajarkan banyak hal pada makhluk penghuni bumi yang katanya paling sempurna ini.
Pak Djarot kembali mengingat-ngingat pelajaran biologinya waktu SMP tentang seleksi alam. Ya sah-sah saja sih, manusia merupakan bagian dari alam itu sendiri, berkurangnya populasi manusia secara drastis oleh ulah kita sendiri sepertinya terdengar cukup masuk akal. Pikiran Pak Djarot sebenarnya sedikit terhibur ketika melihat video tik tok dokter dan perawat yang mempraktikkan cara mencuci tangan dengan baik dan benar sambil berjoget ceria. Benar-benar seperti oase di tengah padang pasir kepanikan dengan timbunan informasi yang perlu dipilah-pilah lagi antara yang hoax dengan informasi yang benar adanya.
Tiba-tiba Pak Djarot bangkit dari singgasana tempatnya biasa untuk memainkan gawainya sepanjang hari. Berjalan dengan agak cepat menuju kamar anaknya, Djarot. Dia ingat benar Djarot masih menyimpan termometer elektrik yang cukup mutakhir untuk mengecek temperatur badan. Tak lama termometer itu sudah digenggamnya dan dicobanya untuk mengukur temperatur badannya sendiri. Saat-saat seperti ini, termometer, mungkin menjadi barang yang cukup laku di pasaran, tentunya setelah masker dan band sanitiser.
Iseng-iseng Pak Djarot memasukkan termometer itu ke ketiak kirinya. Tak butuh waktu yang lama angka penunjuk temperatur pun muncul. 37,5 derajat.
Pak Djarot kembali lagi panik sendiri, teringat dengan istrinya yang sedang pulang kampung ke rumah orang tuanya. ***

Rabu, 29 Januari 2020

Percaya




Persahabatan itu unik. Kadang ada rasa ragu terhadap saran, ajakan, omongan sahabat kita, namun kalau dia memang sahabat baik kita, saran, ajakan ataupun omongan sahabat bisa jadi membantu kita dalam sebuah kesempatan.

Rabu, 22 Januari 2020

Kenapa Naga dan Dinosaurus?

Belakangan saya membuat komik tentang seekor naga dan sahabatnya seekor dinosaurus. Sebenarnya  tidak ada alasan khusus, tapi saya salah satu orang yang percaya bahwa naga hidup satu era dengan dinosaurus meskipun mungkin belum terbukti secara ilmiah. Naga sendiri dikenal dalam berbagai literatur, budaya, dan tradisi dari berbagi penjuru dunia.
Secara umum, naga sendiri digambarkan sebagai hewan yang sangat kuat, ada yang memiliki sayap ataupun tidak, sampai dengan hembusan nafasnya yang dapat menghasilkan panas tinggi sampai mengeluarkan api. Kata naga sendiri berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti ular, bahkan dalam tradisi Jawa Kuno dianggap sebagai Dewa Ular (atau Dewanya Ular?). 
Apa pun itu, pemilihan tokoh naga dan dinosaurus ini sebenarnya hanya pilihan semata dalam artian tiba-tiba saja mengalir di tengah corat-coret yang sebelumnya tidak tentu arah. 

Naga Tidur


Jumat, 03 Januari 2020

Senyum Mat Ole

Hal terbaik dari Mat Ole adalah senyumnya itu. Dalam keadaan apa pun, susah, senang, sedih, Mat Ole selalu tersenyum. Tetangga-tetangganya kadang heran. Padahal Mat Ole bukan orang Bali, setiap kejadian buruk yang menimpanya selalu tetap memiliki alasan untuk tetap tersenyum dan bersyukur.

Luar biasa memang Mat Ole ini.

Tahun ini hujan datang terlambat, sama terlambatnya dengan Mat Ole mereparasi atap rumahnya. Banjir pun datang, air naik setinggi pahanya, rambutnya yang ubanan basah oleh air hujan yang meluncur tanpa halangan dari atap rumahnya yang memang sudah bocor. Mat Ole tetap tersenyum. Kata dia, “Sabar, tahun ini pertanda baik. Semua usaha sebenarnya sudah saya lakukan, minimal waktu itu sudah ada niat saya beli genteng baru, beli rusuk baru untuk perbaiki tulang atap yang lapuk. Saya sudah ada niat kok.”

Tetangganya Pak Dirjo yang orang Solo jadi heran. “Lah ya kok gitu sih, Mat Ole ini.” Berhubung dia juga orangnya sabar, hari itu Mat Ole ditampung di rumahnya yang sebenarnya juga kebanjiran, hanya atapnya tidak bocor.

“Lah saya tak enak hati ini jadinya”, kata Mat Ole. Tentunya sambil bersyukur dalam hatinya tidak terendam dan kehujanan lagi di dalam rumahnya. Lagi-lagi Mat Ole tersenyum dengan senyum khasnya, Pak Dirjo yang awalnya mau ngomong sesuatu jadi mengurungkan niatnya bicara.

“Weis ta lah. All is well,” kata Pak Dirjo dalam hati mengutip tokoh idolanya, Ranchodas dari film Three Idiots.

Pernah juga Mat Ole ditipu orang saat mau menjual sawahnya. Sawahnya ditawar makelar yang mengaku bisa menghubungkannya dengan seorang pebisnis terkenal dari Surabaya, tentunya dengan komisi yang tidak terlalu memberatkan, dijamin akan laku dan sawah Mat Sole siap dibangun untuk lokasi perumahan baru nan indah. Sebenarnya waktu itu Mat Ole agak-agak khawatir karena tanah sawahnya termasuk jalur hijau kota, tapi berkat argumen yang cukup kuat dari makelar yang mengatakan “itu sekarang semua sudah bisa diatur”, Mat Ole saat itu dengan senyum khasnya berjabat tangan erat dengan sang makelar.

Tak lama, sang makelar masuk penjara karena penggelapan sertifikat tanah. Si pebisnis ngamuk dan melaporkan sang makelar ke polisi. Saat ini sang makelar sedang menghadapi proses persidangan di meja hijau.

Banyak orang yang kasihan dengan Mat Ole, banyak juga yang marah. Lah kok segitunya jadi orang, manut dan senyum saja. Tetangga yang ukurannya sudah berumur sering menasihati Mas Ole, ya jadi orang boleh baik, ya tapi jangan segitunya juga baik plus lugu berisi manutnya. Gampang sekali dimanfaatkan orang.

Mat Ole lagi-lagi dengan gaya khasnya, tersenyum saja mendengarkan nasehat itu. Entah apa yang dia pikirkan saat ini, yang jelas senyum itu tak henti berkembang dari bibirnya yang kini tampak mengering.