Jumat, 17 Agustus 2012

Pak Tua

Tubuhnya renta, rambut kusut putih tak terawat, tangannya menggenggam tapi was-was.
.....Istri? Apa itu sebutan untuk wanita muda dalam balutan gaun sexy itu?
Anak? Ah, itu pun tak terpikirkan
Cucu? Ya itu adalah anak dari anakku....
Entah kenapa, punggungnya terasa berat, hingga berjalan harus menunduk, tatapannya hampir lurus ke tanah tempat berpijak. Kakinya bergetar hebat tiap melangkah, pandangannya kabur menyiratkan ketidakyakinan dan kegelisahan. Setiap mencoba bersuara hanya lenguhan serak basah yang terdengar, tak setiap orang bisa mengerti apa yang coba dikatakannya. Jangan pandangi wajahnya, wajah penuh penyesalan itu membuat siapa pun yang memandangnya menjadi putus asa. Orang-orang yang mendatanginya lebih memilih untuk memandang ke arah lain, pura-pura batuk, merasa tak nyaman dan cenderung ingin segera menyelesaikan urusannya dengan pak tua ringkih itu.
Pak tua tempat tinggalnya tidak tentu, kadang di sudut pasar pagi di seputaran terminal, kadang di dekat lampu merah perempatan besar alun-alun kota. Siang yang panas ini, pak tua hanya duduk termangu di dekat warung Bu Inah. Wajahnya cukup meyakinkan, cukup yakin kalau dulu pak tua punya sebuah rumah idaman.
Di tengah jalannya kadang ia tertidur, ling lung sambil berusaha mengingat sedang berada di mana dirinya. Dia masih beruntung masi ingat siapa dirinya dulu. Serasa dulu sekali... Sekitar 40 tahun yang lalu. Ya, 40 tahun yang lalu.
***
Badan tegap, kulit legam, kencang, berbahu kokoh. Langkahnya mantap, berkumis tebal dengan sorot mata tajam. Kadang senyum angkuh tersungging dari mulutnya yang menghitam terbakar racikan tembakau. Dia ingat benar, sebilah pisau Swiss asli selalu terselip di lipatan celana jeans birunya. Belum lagi sepucuk pistol yang dengan rapi terselip di balik jaket kulit hitamnya yang angker.
Kota kecil itu ada dalam genggamannya, namanya hampir tak dikenal tapi sosoknya telah membuat banyak orang trauma. Ketika sekedar kumpul untuk minum menghangatkan badan bersama teman-temannya dia selalu berkelakar "Semua sudah kukalahkan. Tinggal menunggu kematian biar kuhadapi setangguh apa dia..." di selingi tawa yang membahana di bar yang kelam itu.
***
Dia ingat benar itu. Dan sampai sekarang paktua itu masih menunggu.. Orang-orang yang lalu lalang hanya penasaran, apa gerangan yang ditunggu-tunggu oleh pak tua itu.


Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone





Tidak ada komentar:

Posting Komentar