Jumat, 25 Agustus 2017

BELAJAR DARI RASA SAKIT (1)



Sakit mengajari kita ini fana, mengingatkan kita ini ciptaan yang terbatas. Saya pikir sakit itu sebenarnya yang paling iba pada kita. Ketika sakit membuat kita terpukul, terpuruk, jatuh dalam kesedihan, dialah yang paling pertama meneteskan air mata kesedihan. Begitu juga ketika sakit membuat kita semakin kuat, tabah, dan sabar, dia pula yang paling pertama menangis haru penuh kebahagiaan.
Saat kita kecil, rasa sakitlah yang mengajarkan kita untuk bertahan hidup. Dia membuat kita tahu betapa api itu panas dan bisa membakar kita saat awal bersentuhan dengannya. Rasa sakit mendesak kita untuk segera menghindar ketika menyentuh atau tersentuh api.
Saya bercerita tentang rasa sakit mungkin karena saya (masih) takut sakit atau bisa juga karena saya baru saja merasakan pengalaman sakit yang begitu mendera meski dokter sudah memberi obat pereda rasa sakit. Banyak hal yang  saya pikirkan saat didera rasa sakit, sebagian besar hal yang saya pikirkan gagal untuk mengalihkan rasa sakit itu.
Mereka bilang itu karena saya belum sepenuhnya mengendalikan pikiran.
Entah, apakah suatu saat saya akan bisa mengendalikan pikiranku sepenuhnya. Kalau hal itu bisa saya lakukan apa mungkin kita jadi tidak merasakan sakit atau paling tidak bisa memilih untuk tidak merasakan rasa sakit. Sepertinya belum terpikirkan oleh saya ketika suatu saat saat nanti saya tiba-tiba tidak bisa merasakan sakit.
Sakit akan selalu ada. Bahkan saat kau sudah mampu mengendalikan pikiranmu. Tapi seperti rasa lainnya. Sakit secara sadar harus tetap kau gandeng sebagai temanmu. Bersama rasa senang, bahagia, sedih, marah, atau rasa apapun itu yang mungkin hanya kau sendiri yang bisa merasakannya.

Jumat, 18 Agustus 2017

WAJAH YANG TAK BERSUARA



Ada sesosok wajah yang datang dalam mimpiku. Hanya wajah. Aku tak tahu itu wajah siapa. Aku merasa mengenalnya, tidak lebih. Hanya wajah itu yang bisa kuingat.
Wajah itu mulai mendatangiku, tidak hanya dalam mimpi. Dia ada setiap kutermenung. Setiap aku berusaha memejamkan mata untuk sekedar melepas lelah. Kapanpun itu.
Tidak ada wajah lain yang kuingat walau begitu banyak orang yang aku temui setiap harinya. Ada yang datang dengan tawa, ada yang datang dengan linangan air mata.
Tetap saja, hanya wajah yang tak bersuara itu yang aku ingat.
Orang-orang yang datang dan pergi, semua berbicara padaku. Yang kutanya dan kubicarakan hanya tentang wajah itu. Mereka hanya terdiam.
Sampai suatu malam, seseorang berbaju putih membisikiku.
“Kau menderita schizophrenia....”


Wajah yang tak bersuara itu kini terus ada di depan wajahku.