Sakit mengajari kita
ini fana, mengingatkan kita ini ciptaan yang terbatas. Saya pikir sakit itu
sebenarnya yang paling iba pada kita. Ketika sakit membuat kita terpukul,
terpuruk, jatuh dalam kesedihan, dialah yang paling pertama meneteskan air mata
kesedihan. Begitu juga ketika sakit membuat kita semakin kuat, tabah, dan
sabar, dia pula yang paling pertama menangis haru penuh kebahagiaan.
Saat kita kecil, rasa
sakitlah yang mengajarkan kita untuk bertahan hidup. Dia membuat kita tahu
betapa api itu panas dan bisa membakar kita saat awal bersentuhan dengannya.
Rasa sakit mendesak kita untuk segera menghindar ketika menyentuh atau
tersentuh api.
Saya bercerita tentang
rasa sakit mungkin karena saya (masih) takut sakit atau bisa juga karena saya
baru saja merasakan pengalaman sakit yang begitu mendera meski dokter sudah
memberi obat pereda rasa sakit. Banyak hal yang saya pikirkan saat didera rasa sakit, sebagian
besar hal yang saya pikirkan gagal untuk mengalihkan rasa sakit itu.
Mereka bilang itu
karena saya belum sepenuhnya mengendalikan pikiran.
Entah, apakah suatu
saat saya akan bisa mengendalikan pikiranku sepenuhnya. Kalau hal itu bisa saya
lakukan apa mungkin kita jadi tidak merasakan sakit atau paling tidak bisa
memilih untuk tidak merasakan rasa sakit. Sepertinya belum terpikirkan oleh
saya ketika suatu saat saat nanti saya tiba-tiba tidak bisa merasakan sakit.
Sakit akan selalu ada.
Bahkan saat kau sudah mampu mengendalikan pikiranmu. Tapi seperti rasa lainnya.
Sakit secara sadar harus tetap kau gandeng sebagai temanmu. Bersama rasa
senang, bahagia, sedih, marah, atau rasa apapun itu yang mungkin hanya kau
sendiri yang bisa merasakannya.