Jumat, 20 Maret 2020

Kupu-Kupu Putih


Di rumahku ada kebun yang cukup rimbun dan hijau. Itu merupakan tempat bermain favoritku semenjak aku kecil. Kami bisa melakukan permainan apapun yang kami inginkan. Petak umpet, petak lari, bermain layangan sampai bermain silat-selatan atau sekedar kejar-kejaran. Banyak teman masa kecilku yang suka bermain ke rumahku karena ada kebun yang hijau ini.
Kebun kecil ini awalnya hanya sekedar keisengan ayah saat mengisi masa pensiunnya. Dimulai dengan menanam beberapa pohon kamboja jepang, kembang kertas, yang kemudian diikuti ibu yang mulai menanaminya dengan mawar, menambahkan anggrek dan sejumlah tanaman serupa bayam hias dengan daun-daunnya yang berwarna merah dengan pinggiran hijau pucat, bunga soka dan tak lama ada selusin tanaman lain yang aku tidak kenali nama maupun jenisnya. Tapi yang terpenting dari semua itu, ayah menanami lahan di sekitar tanaman dengan rumput hijau Jepang yang menurutku merupakan rumput yang paling ideal untuk ditiduri. Apalagi saat tumbuhnya sudah merata, sangat cocok untuk dijadikan tempat bermain silat-silakan, minimal untuk mengurangi efek benturan saat terjatuh baik yang disengaja maupun tidak.
Selain kami, para serangga juga sangat menyukai keberadaan kebun ini. Tak kurang dari mulai capung, kumbang, lebah, kupu-kupu, sampai ulat seperti beramai-ramai mengunjungi kebun rumahku ini. Dari semua “tamu” yang mengunjungi kebun kami ini, kupu-kupu putih yang paling menarik perhatianku. Meskipun anak-anak lain selalu lebih mengidolakan kupu-kupu barong dengan sayap gagahnya yang penuh ornamen, tapi aku selalu terpana melihat kupu-kupu putih. Kupu-kupu putih terlihat mencolok dan sederhana di saat yang bersamaan. Kilau putih sayapnya selalu terlihat kontras dengan sekelilingnya akan tetapi putih yang sama terlihat paling polos bila dibandingkan dengan sayap kupu-kupu lainnya.
Ayahku selalu yang paling tahu dan bisa menangkap rasa kagumku pada kupu-kupu putih. Begitu kupu-kupu putih terlihat di kebun kami, biasanya aku akan heboh sendiri, langsung memanggil ayah untuk memberitahukannya bahwa kupu-kupu putih telah datang. Ayah akan memangkuku sambil bercerita tentang kupu-kupu putih ini. Cerita yang masih selalu kuingat hingga saat ini.
“Kupu-kupu putih bukanlah serangga biasa nak. Mereka adalah para pendahulu kita, yang sudah meninggal, datang ke dunia ini lagi untuk melihat garis keturunannya. Apakah mereka baik-baik saja atau hidupnya bermasalah”, cerita ayah.
“Maksud ayah mereka adalah hantu?”, tanyaku dengan penasaran.
Sambil tersenyum ayah biasanya hanya terdiam kemudian mengelus-elus rambutku perlahan. Seperti sengaja tidak menjawab pertanyaanku.
Pertanyaan yang mungkin akan terjawab nanti...




Denpasar, 20 Maret 2020
Di tengah kepanikan virus Corona dan saat ini kupu-kupu putih masih sering terlihat di kebun rumah kami ini.

Rabu, 18 Maret 2020

Corona

@BWraspati

Tidak sedikit pun terbersit dalam benak Pak Djarot, virus yang pertama kali muncul di negeri China nun jauh di sana sampai di Indonesia. Namanya yang mirip merk bir kesukaan Pak Djarot, tentunya waktu muda dulu namun sekarang sudah tidak lagi. Seingat Pak Djarot, yang namanya penyakit selalu menyesuaikan jaman dengan manusianya (penderitanya), hanya saja Pak Djarot tidak menyangka bentuk penyakit yang dihasilkan oleh corona begitu miripnya dengan flu biasa sehingga pembawa virusnya bisa saja tidak menyadari bahwa dia telah terkena virus corona sampai benar-benar daya tahan tubuhnya menurun dan akhirnya menunjukkan gejala klinis setelah jangka waktu kurang lebih 14 hari.
Pak Djarot kemudian mengecek handphonenya, banyak sekali informasi yang masuk dan justru membuatnya bertambah bingung karena banyak info beredar yang belum bisa dipastikan kebenarannya. Pak Djarot takut sendiri untuk meneruskan info yang belum bisa dipastikan kebenarannya itu. Lebih-lebih yang banyak beredar di dalam grup whatsapp keluarga besarnya.
Tapi dari semua teori yang beredar di dunia maya, ada satu teori yang menarik bagi Pak Djarot. Teori yang menyatakan bahwa, adanya virus corona ini adalah suatu keniscayaan untuk menjaga keseimbangan dunia. Bahwa manusialah sebenarnya “virus” bagi dunia ini, sedangkan corona sendiri adalah mekanisme alam untuk menjaga jumlah manusia agar tetap seimbang, agar tidak terlalu banyak, yang dapat mengganggu keseimbangan alam dunia ini.
Bagi Pak Djarot, teori ini terdengar masuk akal baginya, karena apapun bentuknya, kejadian-kejadian yang menyebabkan berkurangnya populasi manusia dengan cukup drastis bukan hanya sekali ini terjadi. Sejarah mencatat tidak hanya penyakit, bahkan manusia sendiri bisa “saling mengurangi” populasinya satu sama lain. Perang dunia I dan II telah mengajarkan banyak hal pada makhluk penghuni bumi yang katanya paling sempurna ini.
Pak Djarot kembali mengingat-ngingat pelajaran biologinya waktu SMP tentang seleksi alam. Ya sah-sah saja sih, manusia merupakan bagian dari alam itu sendiri, berkurangnya populasi manusia secara drastis oleh ulah kita sendiri sepertinya terdengar cukup masuk akal. Pikiran Pak Djarot sebenarnya sedikit terhibur ketika melihat video tik tok dokter dan perawat yang mempraktikkan cara mencuci tangan dengan baik dan benar sambil berjoget ceria. Benar-benar seperti oase di tengah padang pasir kepanikan dengan timbunan informasi yang perlu dipilah-pilah lagi antara yang hoax dengan informasi yang benar adanya.
Tiba-tiba Pak Djarot bangkit dari singgasana tempatnya biasa untuk memainkan gawainya sepanjang hari. Berjalan dengan agak cepat menuju kamar anaknya, Djarot. Dia ingat benar Djarot masih menyimpan termometer elektrik yang cukup mutakhir untuk mengecek temperatur badan. Tak lama termometer itu sudah digenggamnya dan dicobanya untuk mengukur temperatur badannya sendiri. Saat-saat seperti ini, termometer, mungkin menjadi barang yang cukup laku di pasaran, tentunya setelah masker dan band sanitiser.
Iseng-iseng Pak Djarot memasukkan termometer itu ke ketiak kirinya. Tak butuh waktu yang lama angka penunjuk temperatur pun muncul. 37,5 derajat.
Pak Djarot kembali lagi panik sendiri, teringat dengan istrinya yang sedang pulang kampung ke rumah orang tuanya. ***