Mencoba Memasang Wajah Pasrah Sesaat Sebelum Pembedahan |
Kalau melihat jam yang
ditunjukkan oleh handphone, saya kira-kira berada di IRD selama 2 jam. Tapi
rasanya seperti sangat lama. Waktu terasa melambat. Selang oksigen yang awalnya
membuat nyaman lama kelamaan terasa mengganggu sekali saat mencoba bernafas normal. Ditambah lagi berbagai pemikiran yang muncul
mencoba menerka-nerka dan meyakinkan diri bahwa penyebab Hb yang turun drastis
itu adalah karena keluarnya darah saat BAB itu saja. Bukan penyebab lain, yang
mungkin saja mengerikan.
Menurut penjelasan dokter
jaga, saat ini prioritas utama adalah untuk menaikkan kembali kadar Hb dalam
darah yang dalam keadaan seperti saat
ini hanya bisa dengan transfusi darah. Golongan darah saya O, darah orang
kebanyakan, asumsi kami harusnya rumah sakit memiliki stok darah O.
Kenyataannya tidak seperti itu.
Istri segera menelpon
sanak keluarga, teman, share di grup chat saya maupun miliknya sendiri untuk meminta
bantuan siapa saja yang kira-kira bisa mendonorkan darah hari itu juga. Saya
berutang nyawa kepada orang-orang yang mendonorkan darahnya untuk saya.
Setelah masuk ke kamar
inap, saya masih harus menunggu lagi untuk menerima transfusi darah. Menurut
kakak saya (beliau termasuk pendonor), kemungkinan darah yang ditransfusikan
bukan langsung dari darah para pendonor hari itu. Bisa jadi darah pendonor
hanya untuk menggantikan stok darah yang nanti akan saya gunakan untuk
transfusi. Bisa saya maklumi karena kondisi saya darurat dan bisa saja memang
darah yang tersedia sudah disiapkan untuk pasien lain yang juga membutuhkan
hari itu juga.
Dari perawat saya
memperoleh keterangan sederhana tentang transfusi darah yang harus saya
lakukan. Menurut mereka, 1 kantong darah biasanya bisa meningkatkan Hb sebanyak
1 point, dengan ketentuan seorang pasien hanya boleh menerima tranfusi
maksimal hanya 2 kantong darah saja
dalam sehari. Jadi secara matematis, hari ini saya bisa menerima 2 kali
transfusi darah dengan jeda 4 jam per
transfusi, bila lancar besok seharusnya Hb saya bisa naik 2 point. Hb
saat ini 4,5; berarti diperlukan 6 kali transfusi darah yang kemungkinan
minimal akan memakan waktu 3 hari.
Luar biasa.
Dan selama opname di
rumah sakit menunggu proses transfusi selesai, BAB saya masih tetap berdarah.
Rasanya gila.
Setiap hari saya
diperiksa oleh seorang dokter ahli penyakit dalam. Fokus beliau adalah memantau
penyebab pasti dari turunnya Hb saya. Menurut hasil pemeriksaan, penyebabnya
90% disebabkan oleh pendarahan saat BAB itu. Nah, penyebab pendarahan saat BAB
itu adalah ambien yang rupanya bersarang di dalam saluran pembuangan.
Satu judul buku untuk
menggambarkan kondisi ini, yaitu “pepat di luar, rancung di dalam.” Buku yang
pernah saya jumpai di perpustakaan pada waktu semasih SD.
Di hari ketiga, ketika
sudah menerima kantong darah keenam, keesokan harinya pada hari keempat
dilakukan cek darah lagi untuk memastikan tingkat Hb dalam darah. Tidak sesuai
prediksi, Hb saya ternyata masih di bawah 10. Dokter meminta saya untuk kembali
untuk ditransfusi dengan 2 kantong darah lagi. Ini tidak akan sebentar.
Dokter ahli penyakit
dalam juga mengajak saya berbicara dari hati ke hati. Menurut beliau, akar
permasalahan dari turunnya Hb ini adalah ambeien itu. Kalau itu belum
ditangani, maka walaupun nanti Hb sudah naik bila pendarahan tetap terjadi, ya
mau tidak mau harus ditransfusi lagi. Beliau menyarankan saya konsultasi juga
dengan dokter bedah digestif.
Sementara, saya juga
harus membulatkan tekad. Kalau jadi ini
akan jadi tindakan pembedahan yang kedua setelah dulu waktu kecil pernah bedah
kecil di tangan tapi tidak sampai opname. Hari itu saya langsung browsing sebanyak-banyaknya tentang
operasi pembedahan untuk mengatasi ambeien. Cukup dengan membacanya saja sudah
membuat saya merasa kesakitan. Keputusan akhirnya ambeien itu memang harus
diatasi.
Tanggal 19 Juli 2017,
saya dijadwalkan untuk “mencicipi” kamar bedah RSUD Badung. Persiapan untuk
masuk kamar bedah ternyata tidak sedikit. Malam sebelumnya saya diharuskan
berpuasa makan mulai jam 22.00 sampai esok harinya saat pembedahan. Plus harus
kuras isi perut supaya nanti saat tindakan saluran pembuangan tidak terganggu
lagi oleh kotoran yang bisa menyebabkan infeksi. Tidak lupa juga perawat
mengingatkan segala rambut di sekitar area bedah juga harus dibersihkan. Sempurna.
Sensasi memasuki kamar
bedah tentunya tidak sama dengan pertama kali masuk ke sekolah. Ada ketegangan
yang dingin di sana, di samping rasa dingin dalam arti yang sebenarnya.
Ruangannya memang sangat dingin. Dan pakaian yang melapisi hanya selapis saja,
pakaian operasi hijau cerah yang nampak pucat, tampak seperti orang yang
memakainya.
Dan tibalah waktunya,
perawat memandu saya untuk melakukan sikap seperti bayi dalam kandungan,
menunduk dengan lutut merapat ke dada. Sikap yang paling sesuai agar suntikan
bius yang disuntikkan melalui tulang belakang bisa masuk dengan baik. Tak butuh
berapa lama, setengah ke bawah terasa kaku, dingin, dan mati. Kesadaran saya
masih ada tapi sangat tipis, hal paling jelas terakhir yang saya ingat adalah
ketika mereka membuat posisi saya tidur telentang mengangkang, seperti sikap
wanita yang akan melahirkan. Sisanya abu-abu.
Sesadarnya saya
tiba-tiba sudah ada di ruang pemulihan. Dengan tubuh bawah yang masih kaku tak
bisa digerakkan. Sepertinya lebih nyaman untuk tidur, tapi ada rasa ketakutan
saya untuk tidak bisa tersadar lagi, sehingga memilih untuk tetap terjaga.
Ingin rasanya segera kembali ke kamar rawat inap agar segera bisa pulih
kembali. Menurut saya, kamar bedah adalah ruang kedua yang kita hindari setelah
kamar mayat bila sedang berada di rumah sakit. Auranya beda.
Beberapa jam setelah
kembali ke kamar inap, segalanya tampak baik. Mungkin tidak terlalu buruk
seperti beberapa kasus pasca tindakan bedah ambeien seperti yang saya baca di
internet. Baiklah, sisanya tinggal menunggu sampai kaki bisa digerakkan. Tak
berapa lama saya baru hanya bisa menggerakkan telapak kaki, tidak kurang dari
dua jam, kesadaran kaki saya seperti
sudah 100%. Efek biusnya mulai hilang.
Satu pesan dari dokter
bedah yang menangani saya tentang apa yang mungkin terjadi setelah pembedahan
adalah adanya rasa sakit yang timbul dari luka pembedahan. Tapi kata dokter hal
itu tidak perlu terlalu dikhawatirkan karena dengan kemajuan ilmu kedokteran
saat ini rasa sakit dapat dilumpuhkan dulu dengan obat melalu infus. Saya cukup
lega. Sampai hasil cek darah saya hari itu keluar, dan Hb saya ternyata turun
lagi. Tak perlu diragukan penyebabnya karena ada darah yang keluar lagi selama
tindakan pembedahan.
Hari itu juga saya
harus ditransfusi lagi. Cuma satu hal lagi yang menjadi catatan dalam proses
transfusi ini bahwa saat transfusi dilakukan tidak boleh bersamaan dengan
masuknya obat ke dalam tubuh, bahkan cairan infus pun tidak. Jadi kira-kira
bisa dibayangkan apa yang terjadi setelah transfusi dimulai. Betul sekali, obat
pelumpuh rasa sakit harus diputus sementara. Seumur hidup pertama kalinya saya
merasakan sakit sedemikian di area pembuangan itu. Sampai mencoba tersenyum
saja rasanya sangat berat. Perawat sudah berusaha mempercepat proses transfusi,
supaya obat pelumpuh rasa sakit bisa segera masuk kembali, namun ternyata
setelah masuk kembali pun efeknya juga membutuhkan waktu untuk bereaksi.
Jadilah semalaman itu bergumul dengan rasa sakit, mencoba tidur pun tidak bisa.
Satu hal yang
mengganjal lagi, baru saya sadari ternyata sampai dengan malam hari di hari
pembedahan saya belum juga bisa kencing. Perawat bolak-balik terus menanyakan
apakah saya sudah buang air kecil apa belum seharian itu ternyata ada
tujuannya. Usut punya usut ternyata kalau seandainya sampai besok paginya saya
belum bisa buang air kecil, saya harus dipasangi kateter. Sudah cukup banyak
alasan untuk tidak tidur malam ini. Selain didera rasa sakit, saya terus
berusaha mempengaruhi diri saya sendiri agar bisa segera kencing, pispot saya
biarkan di atas tempat tidur, setiap beberapa waktu saya akan mencoba untuk
kencing walapun belum ada setetes pun yang keluar. Cukup mengkhawatirkan.
Akhirnya mungkin saya
kelelahan, sempat terlelap hingga tengah malam. Masih terasa sakit, dan
teringat saya belum buang air kecil sejak pagi, kembali saya coba meraih
pispot.
“Ayolah.”
Butuh tiga kali
percobaan, akhirnya sekitar pukul 01.30 ada titik-titik air yang mengalir
walaupun sedikit. Saya bisa sedikit lega. Paling tidak untuk nanti pagi tidak
perlu merepotkan perawat lagi untuk memasang kateter. Mendengar kata “kateter”
saja saya sudah bergidik. (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar