Jumat, 01 September 2017

BELAJAR DARI RASA SAKIT (2)

Mencoba Memasang Wajah Pasrah Sesaat Sebelum Pembedahan


Kalau melihat jam yang ditunjukkan oleh handphone, saya kira-kira berada di IRD selama 2 jam. Tapi rasanya seperti sangat lama. Waktu terasa melambat. Selang oksigen yang awalnya membuat nyaman lama kelamaan terasa mengganggu sekali saat mencoba bernafas normal.  Ditambah lagi berbagai pemikiran yang muncul mencoba menerka-nerka dan meyakinkan diri bahwa penyebab Hb yang turun drastis itu adalah karena keluarnya darah saat BAB itu saja. Bukan penyebab lain, yang mungkin saja mengerikan.
Menurut penjelasan dokter jaga, saat ini prioritas utama adalah untuk menaikkan kembali kadar Hb dalam darah yang dalam keadaan seperti  saat ini hanya bisa dengan transfusi darah. Golongan darah saya O, darah orang kebanyakan, asumsi kami harusnya rumah sakit memiliki stok darah O.
Kenyataannya tidak  seperti itu.

Istri segera menelpon sanak keluarga, teman, share di grup chat saya maupun miliknya sendiri untuk meminta bantuan siapa saja yang kira-kira bisa mendonorkan darah hari itu juga. Saya berutang nyawa kepada orang-orang yang mendonorkan darahnya untuk saya.
Setelah masuk ke kamar inap, saya masih harus menunggu lagi untuk menerima transfusi darah. Menurut kakak saya (beliau termasuk pendonor), kemungkinan darah yang ditransfusikan bukan langsung dari darah para pendonor hari itu. Bisa jadi darah pendonor hanya untuk menggantikan stok darah yang nanti akan saya gunakan untuk transfusi. Bisa saya maklumi karena kondisi saya darurat dan bisa saja memang darah yang tersedia sudah disiapkan untuk pasien lain yang juga membutuhkan hari itu juga.
Dari perawat saya memperoleh keterangan sederhana tentang transfusi darah yang harus saya lakukan. Menurut mereka, 1 kantong darah biasanya bisa meningkatkan Hb sebanyak 1 point, dengan ketentuan seorang pasien hanya boleh menerima tranfusi maksimal  hanya 2 kantong darah saja dalam sehari. Jadi secara matematis, hari ini saya bisa menerima 2 kali transfusi darah dengan jeda 4 jam per  transfusi, bila lancar besok seharusnya Hb saya bisa naik 2 point. Hb saat ini 4,5; berarti diperlukan 6 kali transfusi darah yang kemungkinan minimal akan memakan waktu 3 hari.  
Luar biasa.
Dan selama opname di rumah sakit menunggu proses transfusi selesai, BAB saya masih tetap berdarah. Rasanya gila.
Setiap hari saya diperiksa oleh seorang dokter ahli penyakit dalam. Fokus beliau adalah memantau penyebab pasti dari turunnya Hb saya. Menurut hasil pemeriksaan, penyebabnya 90% disebabkan oleh pendarahan saat BAB itu. Nah, penyebab pendarahan saat BAB itu adalah ambien yang rupanya bersarang di dalam saluran pembuangan.
Satu judul buku untuk menggambarkan kondisi ini, yaitu “pepat di luar, rancung di dalam.” Buku yang pernah saya jumpai di perpustakaan pada waktu semasih SD.
Di hari ketiga, ketika sudah menerima kantong darah keenam, keesokan harinya pada hari keempat dilakukan cek darah lagi untuk memastikan tingkat Hb dalam darah. Tidak sesuai prediksi, Hb saya ternyata masih di bawah 10. Dokter meminta saya untuk kembali untuk ditransfusi dengan 2 kantong darah lagi. Ini tidak akan sebentar.
Dokter ahli penyakit dalam juga mengajak saya berbicara dari hati ke hati. Menurut beliau, akar permasalahan dari turunnya Hb ini adalah ambeien itu. Kalau itu belum ditangani, maka walaupun nanti Hb sudah naik bila pendarahan tetap terjadi, ya mau tidak mau harus ditransfusi lagi. Beliau menyarankan saya konsultasi juga dengan dokter bedah digestif.
Sementara, saya juga harus membulatkan tekad. Kalau  jadi ini akan jadi tindakan pembedahan yang kedua setelah dulu waktu kecil pernah bedah kecil di tangan tapi tidak sampai opname. Hari itu saya langsung browsing sebanyak-banyaknya tentang operasi pembedahan untuk mengatasi ambeien. Cukup dengan membacanya saja sudah membuat saya merasa kesakitan. Keputusan akhirnya ambeien itu memang harus diatasi.
Tanggal 19 Juli 2017, saya dijadwalkan untuk “mencicipi” kamar bedah RSUD Badung. Persiapan untuk masuk kamar bedah ternyata tidak sedikit. Malam sebelumnya saya diharuskan berpuasa makan mulai jam 22.00 sampai esok harinya saat pembedahan. Plus harus kuras isi perut supaya nanti saat tindakan saluran pembuangan tidak terganggu lagi oleh kotoran yang bisa menyebabkan infeksi. Tidak lupa juga perawat mengingatkan segala rambut di sekitar area bedah juga harus dibersihkan. Sempurna.
Sensasi memasuki kamar bedah tentunya tidak sama dengan pertama kali masuk ke sekolah. Ada ketegangan yang dingin di sana, di samping rasa dingin dalam arti yang sebenarnya. Ruangannya memang sangat dingin. Dan pakaian yang melapisi hanya selapis saja, pakaian operasi hijau cerah yang nampak pucat, tampak seperti orang yang memakainya.
Dan tibalah waktunya, perawat memandu saya untuk melakukan sikap seperti bayi dalam kandungan, menunduk dengan lutut merapat ke dada. Sikap yang paling sesuai agar suntikan bius yang disuntikkan melalui tulang belakang bisa masuk dengan baik. Tak butuh berapa lama, setengah ke bawah terasa kaku, dingin, dan mati. Kesadaran saya masih ada tapi sangat tipis, hal paling jelas terakhir yang saya ingat adalah ketika mereka membuat posisi saya tidur telentang mengangkang, seperti sikap wanita yang akan melahirkan. Sisanya abu-abu.
Sesadarnya saya tiba-tiba sudah ada di ruang pemulihan. Dengan tubuh bawah yang masih kaku tak bisa digerakkan. Sepertinya lebih nyaman untuk tidur, tapi ada rasa ketakutan saya untuk tidak bisa tersadar lagi, sehingga memilih untuk tetap terjaga. Ingin rasanya segera kembali ke kamar rawat inap agar segera bisa pulih kembali. Menurut saya, kamar bedah adalah ruang kedua yang kita hindari setelah kamar mayat bila sedang berada di rumah sakit. Auranya beda.
Beberapa jam setelah kembali ke kamar inap, segalanya tampak baik. Mungkin tidak terlalu buruk seperti beberapa kasus pasca tindakan bedah ambeien seperti yang saya baca di internet. Baiklah, sisanya tinggal menunggu sampai kaki bisa digerakkan. Tak berapa lama saya baru hanya bisa menggerakkan telapak kaki, tidak kurang dari dua jam,  kesadaran kaki saya seperti sudah 100%. Efek biusnya mulai hilang.
Satu pesan dari dokter bedah yang menangani saya tentang apa yang mungkin terjadi setelah pembedahan adalah adanya rasa sakit yang timbul dari luka pembedahan. Tapi kata dokter hal itu tidak perlu terlalu dikhawatirkan karena dengan kemajuan ilmu kedokteran saat ini rasa sakit dapat dilumpuhkan dulu dengan obat melalu infus. Saya cukup lega. Sampai hasil cek darah saya hari itu keluar, dan Hb saya ternyata turun lagi. Tak perlu diragukan penyebabnya karena ada darah yang keluar lagi selama tindakan pembedahan.
Hari itu juga saya harus ditransfusi lagi. Cuma satu hal lagi yang menjadi catatan dalam proses transfusi ini bahwa saat transfusi dilakukan tidak boleh bersamaan dengan masuknya obat ke dalam tubuh, bahkan cairan infus pun tidak. Jadi kira-kira bisa dibayangkan apa yang terjadi setelah transfusi dimulai. Betul sekali, obat pelumpuh rasa sakit harus diputus sementara. Seumur hidup pertama kalinya saya merasakan sakit sedemikian di area pembuangan itu. Sampai mencoba tersenyum saja rasanya sangat berat. Perawat sudah berusaha mempercepat proses transfusi, supaya obat pelumpuh rasa sakit bisa segera masuk kembali, namun ternyata setelah masuk kembali pun efeknya juga membutuhkan waktu untuk bereaksi. Jadilah semalaman itu bergumul dengan rasa sakit, mencoba tidur pun tidak bisa.
Satu hal yang mengganjal lagi, baru saya sadari ternyata sampai dengan malam hari di hari pembedahan saya belum juga bisa kencing. Perawat bolak-balik terus menanyakan apakah saya sudah buang air kecil apa belum seharian itu ternyata ada tujuannya. Usut punya usut ternyata kalau seandainya sampai besok paginya saya belum bisa buang air kecil, saya harus dipasangi kateter. Sudah cukup banyak alasan untuk tidak tidur malam ini. Selain didera rasa sakit, saya terus berusaha mempengaruhi diri saya sendiri agar bisa segera kencing, pispot saya biarkan di atas tempat tidur, setiap beberapa waktu saya akan mencoba untuk kencing walapun belum ada setetes pun yang keluar. Cukup mengkhawatirkan.
Akhirnya mungkin saya kelelahan, sempat terlelap hingga tengah malam. Masih terasa sakit, dan teringat saya belum buang air kecil sejak pagi, kembali saya coba meraih pispot.
“Ayolah.”
Butuh tiga kali percobaan, akhirnya sekitar pukul 01.30 ada titik-titik air yang mengalir walaupun sedikit. Saya bisa sedikit lega. Paling tidak untuk nanti pagi tidak perlu merepotkan perawat lagi untuk memasang kateter. Mendengar kata “kateter” saja saya sudah bergidik. (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar