Selasa, 26 September 2017

PETAK UMPET PURNAMA


Sejak kecil ada sisi dalam diri kita yang menyukai sesuatu yang menjadi misteri. Sesuatu yang asing, yang tidak kita pahami entah itu kita alami sendiri atau memperoleh cerita dari orang lain. Maka kini akan kuceritakan sebuah kisah misteri yang pernah aku alami.
Saat itu aku masih SD, tempat tinggal kami belumlah seperti saat ini. Air dari PDAM belum mengalir lancar walau pipanya sudah terpasang, lampu-lampu belumlah terlalu banyak. Saat itu, strong king (merk lampu) masih menjadi primadona walau tidak semua orang memilikinya. Lebih banyak yang kami gunakan adalah lampu minyak. Jadilah pada saat itu malam merupakan saat yang benar-benar gelap, cahaya melimpah hanya saat malam bulan purnama, itupun kalau tidak mendung atau berawan.


Waktuku di sekolah tidaklah sepadat anak-anak jaman sekarang, siang hari kami sudah selesai sekolah. Tinggal menghabiskan waktu untuk bermain bersama teman karibku, Yan De, Koming, dan Odek. Koming setahun di atas kami tapi dia sekali tidak naik kelas jadinya lebih sering bermain denganku. Saat itu tidak naik kelas bukanlah hal aneh dan wajar saja terjadi. Orang tua kami sudah cukup senang jika kami mau pergi ke sekolah.
Hobi kami berempat sama, menjelajah alam, aku lupa entah siapa yang memulai. Menyusuri sungai, masuk ke hutan berlomba siapa yang paling berani menerobos paling dalam, dan kalau kami sedang nekat-nekatnya uji nyali bermain petak umpet di dekat pekuburan desa. Memang terdengar ganjil, semakin menantang semakin seru untuk kami. Saat itu aku baru menginjak kelas V sekolah dasar.
Hari itu bulan purnama. Waktu yang baik bagi kami untuk keluar di malam hari, untuk bermain tentunya. Kami biasanya pergi ke sawah untuk menangkap belut. Lumayan, selain memang mengasyikkan, kalau dapat banyak lumayan untuk dibawa pulang digoreng esok hari.
Odek tiba-tiba melontarkan ide itu. “Ayo siapa berani main petak umpet di teba kangin?”
Hari itu purnama yang sempurna, langit bersih tanpa awan, bahkan sinar bintang tertutup cemerlangnya rembulan. Telinga kami semua seperti panas mendengar ajakan Odek. Kami menyebut tempat itu teba kangin, semacam tanah lapang yang cukup luas yang ditumbuhi tanaman yang tidak terpelihara, dibiarkan begitu saja. Letaknya di bagian timur desa, dalam bahasa Bali kangin berarti timur, tepat di sebelah barat sungai yang merupakan batas timur desa kami.
Kata para orang tua di desa, teba kangin bukan tempat yang tepat untuk bermain, karena jarang sekali dikunjungi orang. Ada jalur memotong di sebelah utara  teba kangin bila penduduk desa mau mandi atau mencuci pakaian di sungai. Jadi, meskipun di sungai cukup ramai pada waktu siang, teba kangin tetaplah tempat yang sepi karena tidak menjadi jalur utama menuju sungai. Banyak cerita seram tentang lokasi itu, sehingga anak-anak kecil desa diwanti-wanti oleh para orang tuanya untuk tidak bermain di sana. Tentunya aku dan teman-temanku bukanlah anak kecil lagi. Kami sudah bosan dianggap sebagai anak kecil, jadi keberanian kami seharusnya cukup menjadi bukti bahwa kami sudah bisa dianggap cukup dewasa. Lagi pula hanya bermain petak umpet, saat purnama terang-terangnya.
Tanpa perlu dikomando, kami berempat berlari-lari kecil sambil sesekali berjalan cepat menuju teba kangin. Tak butuh lama untuk sampai di sana. Tempatnya lapang, tanpa ada pohon yang cukup tinggi dan lebih banyak diisi pohon pisang, pepaya, dan lebih banyak belukar yang tampak sedikit berkilau diterpa cahaya bulan. Bukan tempat yang sempurna untuk bermain petak umpet karena sedikit sekali titik yang terlindungi untuk menjadi tempat bersembunyi kecuali rela untuk tiarap atau minimal berjongkok diantara semak. Bersembunyi diantara pohon pisang sepertinya akan gampang ditemukan jadi tidak menjadi pilihan utama.
Permainan petak umpet terakhir yang kami lakukan terakhir cukup seru, setidaknya sampai bapaknya Yan De datang menjemputnya dengan paksa karena perlu bantuan untuk mencabuti bulu ayam jagonya yang meregang nyawa di arena sabung ayam. Mencabuti bulu ayam tidak termasuk kegiatan yang disukai Yan De, jadi butuh sedikit “tarikan di telinga” untuk membuatnya melangkah gontai di belakang sang ayah untuk pulang ke rumah. Yan De jauh lebih suka saat diberi kesempatan untuk ngayah memainkan gamelan di balai banjar, hobi malah. Sebenarnya ayah Yan De cukup beruntung karena saat itu Yan De lah yang giliran jaga, jadi ketika dijemput ayahnya permainan langsung berakhir. Seandainya bukan Yan De yang jaga, aku cukup yakin Yan De lebih memilih berdiam diri di tempat persembunyiannya.
Diantara kami berempat, Koming si kurus bertubuh pendek itu, paling lihai bermain petak umpet. Tawaran Odek untuk bermain petak umpet sebenarnya sebuah jebakan untuk Koming yang sebenarnya sudah kami rancang sebelumnya. Sekali-kali kami ingin mengerjai Koming, selalu paling sulit ditemukan dan paling jarang kalah saat undi untuk berjaga. Semua sudah dirancang dan dikondisikan sehingga malam ini akan menjadi malam penghakiman untuk Koming.
Sesuai dengan rencana kami, Kominglah yang mendapat giliran jaga secara meyakinkan pada awal permainan. Hidung Yan De kembang kempis, selalu seperti itu setiap dia melakukan sesuatu yang salah. Sementara Odek dan aku tersenyum saling memandang satu sama lain penuh arti. Yan De mengangkat alisnya berkali-kali sebagai kode, bersembunyilah dengan baik kawan. Bahkan sampai esok pagi bila perlu, biar si Koming ini kapok.
Koming memilih satu batang pisang dengan sekenanya sebagai tempat bersandar menutup matanya. Sesuai kesepakatan, yang giliran jaga petak umpet malam harus menghitung sampai 20. Memang di luar kebiasaan hitungan 10 karena pertimbangan kondisi malam, supaya saat berlari untuk mencari tempat bersembunyi resiko jatuh karena kurang terang dapat dikurangi.
Sayup-sayup pada hitungan ke 10, aku masih belum menemukan tempat bersembunyi yang cocok. Tadi sempat kucoba merunduk di bawah kumpulan pohon pisang, namun aku segera tersadar pohon pisang di tempat ini merupakan tempat sembunyi yang paling gampang ditemukan. Kuputuskan untuk melompat ringan ke arah semak di kejauhan arah hulu sungai, cukup rimbun untuk bersembunyi walau mungkin aku harus mengambil posisi tiarap dengan resiko gatal-gatal untuk waktu yang tidak sebentar.
Otakku seperti tidak mampu memikirkan tempat yang lebih baik untuk bersembunyi. Pada hitungan ke 18, setengah badanku sudah meringkuk kaku diantara semak itu. Entah di mana yang lain bersembunyi tidak sempat kuperhatikan, di benakku cuma ingin untuk tidak ditemukan oleh Koming. Biar dia tahu rasa.
Rasanya hampir setengah jam aku menyamarkan diriku dengan semak-semak yang sepertinya mulai menggerogotiku dengan perlahan ditambah rasa gatal yang mulai menjalari tubuhku. Sekilas kulihat ada bayangan hitam menutupi semak tempatku bersembunyi yang akhirnya kuketahui itu bukanlah bayangan Koming. Bukan juga Yan De atau Odek.
***
Sepertinya sudah sangat lama rasanya, sejak terakhir aku bermain petak umpet saat purnama itu. Saat ini, aku masih di teba kangin. Persembunyianku belum juga terbongkar. Sangat tersembunyi sehingga aku sendiri tidak bisa menemukan tempat keluar dari persembunyian ini. Semak di malam purnama itu tidak lagi menjadi tempat sembunyiku, kini semua area teba kangin ini menjadi persembunyianku.
Sesuatu yang masih membuatku heran hingga kini adalah bahkan aku sendiripun tidak bisa menemukan jalan untuk keluar dari teba kangin ini. Padahal sudah coba kutelusuri ke arah barat, lurus tanpa berhenti, ke arah desa kami, sejauh aku berjalan yang aku temui hanya pohon-pohon dan semak-semak yang sama. Waktupun berhenti, sejak terakhir aku bersembunyi di sini, di teba kangin ini, belum sekalipun aku melihat matahari. Saat aku merasa sangat lelah, akan kubuat tempat berbaring sederhana beralaskan daun pisang dan kucoba untuk memejamkan mata sesaat. Saat aku bangkit lagi, tubuhku terasa bugar kembali, hanya saja purnama yang terang itu masih tampak menggantung di langit malam tanpa awan.
Yan De menabuh kendang dengan sisa tenaganya memainkan baleganjur bersama anak-anak lain dan para orang tua desa kami. Pada malam ke-12 ini, ayah dan ibu tampak memegang obor dengan pandangan tajam seperti sedang mencoba menerobos gelapnya belukar teba kangin. Koming dan Odek bersama orang tuanya yang tampak tidak ingin membiarkan anaknya masuk lebih dalam lagi berusaha mengingatkan dengan mulut berkomat kamit di dekat telinga mereka masing-masing. Kelihan dan Jero Mangku berbincang dengan serius yang akhirnya harus terpotong ketika Odah Tama membisikkan sesuatu di dekat mereka berdua. Jero Mangku kemudian berpindah tempat untuk duduk di depan banten persis di dekat semak tempatku bersembunyi.
Sementara itu, sedari tadi aku sedang memanggil Odek, Koming maupun Yan De. Sudah kucoba juga memanggil ayah dan ibuku, tapi sampai suaraku terasa serak sedikitpun mereka tidak mendengarnya, apalagi melihatku. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar