Sejak kecil ada sisi
dalam diri kita yang menyukai sesuatu yang menjadi misteri. Sesuatu yang asing,
yang tidak kita pahami entah itu kita alami sendiri atau memperoleh cerita dari
orang lain. Maka kini akan kuceritakan sebuah kisah misteri yang pernah aku
alami.
Saat itu aku masih SD,
tempat tinggal kami belumlah seperti saat ini. Air dari PDAM belum mengalir
lancar walau pipanya sudah terpasang, lampu-lampu belumlah terlalu banyak. Saat
itu, strong king (merk lampu) masih menjadi primadona walau tidak semua orang
memilikinya. Lebih banyak yang kami gunakan adalah lampu minyak. Jadilah pada
saat itu malam merupakan saat yang benar-benar gelap, cahaya melimpah hanya
saat malam bulan purnama, itupun kalau tidak mendung atau berawan.
Waktuku di sekolah
tidaklah sepadat anak-anak jaman sekarang, siang hari kami sudah selesai
sekolah. Tinggal menghabiskan waktu untuk bermain bersama teman karibku, Yan
De, Koming, dan Odek. Koming setahun di atas kami tapi dia sekali tidak naik
kelas jadinya lebih sering bermain denganku. Saat itu tidak naik kelas bukanlah
hal aneh dan wajar saja terjadi. Orang tua kami sudah cukup senang jika kami
mau pergi ke sekolah.
Hobi kami berempat
sama, menjelajah alam, aku lupa entah siapa yang memulai. Menyusuri sungai,
masuk ke hutan berlomba siapa yang paling berani menerobos paling dalam, dan
kalau kami sedang nekat-nekatnya uji nyali bermain petak umpet di dekat
pekuburan desa. Memang terdengar ganjil, semakin menantang semakin seru untuk
kami. Saat itu aku baru menginjak kelas V sekolah dasar.
Hari itu bulan purnama.
Waktu yang baik bagi kami untuk keluar di malam hari, untuk bermain tentunya.
Kami biasanya pergi ke sawah untuk menangkap belut. Lumayan, selain memang
mengasyikkan, kalau dapat banyak lumayan untuk dibawa pulang digoreng esok
hari.
Odek tiba-tiba
melontarkan ide itu. “Ayo siapa berani main petak umpet di teba kangin?”
Hari itu purnama yang
sempurna, langit bersih tanpa awan, bahkan sinar bintang tertutup cemerlangnya
rembulan. Telinga kami semua seperti panas mendengar ajakan Odek. Kami menyebut
tempat itu teba kangin, semacam tanah
lapang yang cukup luas yang ditumbuhi tanaman yang tidak terpelihara, dibiarkan
begitu saja. Letaknya di bagian timur desa, dalam bahasa Bali kangin berarti timur, tepat di sebelah
barat sungai yang merupakan batas timur desa kami.
Kata para orang tua di
desa, teba kangin bukan tempat yang
tepat untuk bermain, karena jarang sekali dikunjungi orang. Ada jalur memotong
di sebelah utara teba kangin bila penduduk desa mau mandi atau mencuci pakaian di
sungai. Jadi, meskipun di sungai cukup ramai pada waktu siang, teba kangin tetaplah tempat yang sepi
karena tidak menjadi jalur utama menuju sungai. Banyak cerita seram tentang
lokasi itu, sehingga anak-anak kecil desa diwanti-wanti oleh para orang tuanya
untuk tidak bermain di sana. Tentunya aku dan teman-temanku bukanlah anak kecil
lagi. Kami sudah bosan dianggap sebagai anak kecil, jadi keberanian kami
seharusnya cukup menjadi bukti bahwa kami sudah bisa dianggap cukup dewasa. Lagi
pula hanya bermain petak umpet, saat purnama terang-terangnya.
Tanpa perlu dikomando,
kami berempat berlari-lari kecil sambil sesekali berjalan cepat menuju teba kangin. Tak butuh lama untuk sampai
di sana. Tempatnya lapang, tanpa ada pohon yang cukup tinggi dan lebih banyak
diisi pohon pisang, pepaya, dan lebih banyak belukar yang tampak sedikit
berkilau diterpa cahaya bulan. Bukan tempat yang sempurna untuk bermain petak
umpet karena sedikit sekali titik yang terlindungi untuk menjadi tempat
bersembunyi kecuali rela untuk tiarap atau minimal berjongkok diantara semak.
Bersembunyi diantara pohon pisang sepertinya akan gampang ditemukan jadi tidak
menjadi pilihan utama.
Permainan petak umpet
terakhir yang kami lakukan terakhir cukup seru, setidaknya sampai bapaknya Yan
De datang menjemputnya dengan paksa karena perlu bantuan untuk mencabuti bulu
ayam jagonya yang meregang nyawa di arena sabung ayam. Mencabuti bulu ayam
tidak termasuk kegiatan yang disukai Yan De, jadi butuh sedikit “tarikan di
telinga” untuk membuatnya melangkah gontai di belakang sang ayah untuk pulang
ke rumah. Yan De jauh lebih suka saat diberi kesempatan untuk ngayah memainkan gamelan di balai
banjar, hobi malah. Sebenarnya ayah Yan De cukup beruntung karena saat itu Yan
De lah yang giliran jaga, jadi ketika dijemput ayahnya permainan langsung
berakhir. Seandainya bukan Yan De yang jaga, aku cukup yakin Yan De lebih
memilih berdiam diri di tempat persembunyiannya.
Diantara kami berempat,
Koming si kurus bertubuh pendek itu, paling lihai bermain petak umpet. Tawaran
Odek untuk bermain petak umpet sebenarnya sebuah jebakan untuk Koming yang
sebenarnya sudah kami rancang sebelumnya. Sekali-kali kami ingin mengerjai
Koming, selalu paling sulit ditemukan dan paling jarang kalah saat undi untuk
berjaga. Semua sudah dirancang dan dikondisikan sehingga malam ini akan menjadi
malam penghakiman untuk Koming.
Sesuai dengan rencana
kami, Kominglah yang mendapat giliran jaga secara meyakinkan pada awal
permainan. Hidung Yan De kembang kempis, selalu seperti itu setiap dia
melakukan sesuatu yang salah. Sementara Odek dan aku tersenyum saling memandang
satu sama lain penuh arti. Yan De mengangkat alisnya berkali-kali sebagai kode,
bersembunyilah dengan baik kawan. Bahkan sampai esok pagi bila perlu, biar si
Koming ini kapok.
Koming memilih satu
batang pisang dengan sekenanya sebagai tempat bersandar menutup matanya. Sesuai
kesepakatan, yang giliran jaga petak umpet malam harus menghitung sampai 20.
Memang di luar kebiasaan hitungan 10 karena pertimbangan kondisi malam, supaya
saat berlari untuk mencari tempat bersembunyi resiko jatuh karena kurang terang
dapat dikurangi.
Sayup-sayup pada
hitungan ke 10, aku masih belum menemukan tempat bersembunyi yang cocok. Tadi
sempat kucoba merunduk di bawah kumpulan pohon pisang, namun aku segera
tersadar pohon pisang di tempat ini merupakan tempat sembunyi yang paling
gampang ditemukan. Kuputuskan untuk melompat ringan ke arah semak di kejauhan
arah hulu sungai, cukup rimbun untuk bersembunyi walau mungkin aku harus
mengambil posisi tiarap dengan resiko gatal-gatal untuk waktu yang tidak
sebentar.
Otakku seperti tidak
mampu memikirkan tempat yang lebih baik untuk bersembunyi. Pada hitungan ke 18,
setengah badanku sudah meringkuk kaku diantara semak itu. Entah di mana yang
lain bersembunyi tidak sempat kuperhatikan, di benakku cuma ingin untuk tidak
ditemukan oleh Koming. Biar dia tahu rasa.
Rasanya hampir setengah
jam aku menyamarkan diriku dengan semak-semak yang sepertinya mulai
menggerogotiku dengan perlahan ditambah rasa gatal yang mulai menjalari
tubuhku. Sekilas kulihat ada bayangan hitam menutupi semak tempatku bersembunyi
yang akhirnya kuketahui itu bukanlah bayangan Koming. Bukan juga Yan De atau
Odek.
***
Sepertinya sudah sangat
lama rasanya, sejak terakhir aku bermain petak umpet saat purnama itu. Saat
ini, aku masih di teba kangin. Persembunyianku
belum juga terbongkar. Sangat tersembunyi sehingga aku sendiri tidak bisa
menemukan tempat keluar dari persembunyian ini. Semak di malam purnama itu
tidak lagi menjadi tempat sembunyiku, kini semua area teba kangin ini menjadi persembunyianku.
Sesuatu yang masih
membuatku heran hingga kini adalah bahkan aku sendiripun tidak bisa menemukan
jalan untuk keluar dari teba kangin ini.
Padahal sudah coba kutelusuri ke arah barat, lurus tanpa berhenti, ke arah desa
kami, sejauh aku berjalan yang aku temui hanya pohon-pohon dan semak-semak yang
sama. Waktupun berhenti, sejak terakhir aku bersembunyi di sini, di teba kangin ini, belum sekalipun aku
melihat matahari. Saat aku merasa sangat lelah, akan kubuat tempat berbaring
sederhana beralaskan daun pisang dan kucoba untuk memejamkan mata sesaat. Saat
aku bangkit lagi, tubuhku terasa bugar kembali, hanya saja purnama yang terang
itu masih tampak menggantung di langit malam tanpa awan.
Yan De menabuh kendang dengan sisa tenaganya memainkan baleganjur bersama anak-anak lain dan
para orang tua desa kami. Pada malam ke-12 ini, ayah dan ibu tampak memegang
obor dengan pandangan tajam seperti sedang mencoba menerobos gelapnya belukar teba kangin. Koming dan Odek bersama
orang tuanya yang tampak tidak ingin membiarkan anaknya masuk lebih dalam lagi
berusaha mengingatkan dengan mulut berkomat kamit di dekat telinga mereka
masing-masing. Kelihan dan Jero Mangku berbincang dengan serius
yang akhirnya harus terpotong ketika Odah
Tama membisikkan sesuatu di dekat mereka berdua. Jero Mangku kemudian
berpindah tempat untuk duduk di depan banten
persis di dekat semak tempatku bersembunyi.
Sementara itu, sedari
tadi aku sedang memanggil Odek, Koming maupun Yan De. Sudah kucoba juga
memanggil ayah dan ibuku, tapi sampai suaraku terasa serak sedikitpun mereka
tidak mendengarnya, apalagi melihatku. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar