Sakit mengajari kita
ini fana, mengingatkan kita ini ciptaan yang terbatas. Saya pikir sakit itu
sebenarnya yang paling iba pada kita. Ketika sakit membuat kita terpukul,
terpuruk, jatuh dalam kesedihan, dialah yang paling pertama meneteskan air mata
kesedihan. Begitu juga ketika sakit membuat kita semakin kuat, tabah, dan
sabar, dia pula yang paling pertama menangis haru penuh kebahagiaan.
Saat kita kecil, rasa
sakitlah yang mengajarkan kita untuk bertahan hidup. Dia membuat kita tahu
betapa api itu panas dan bisa membakar kita saat awal bersentuhan dengannya.
Rasa sakit mendesak kita untuk segera menghindar ketika menyentuh atau
tersentuh api.
Saya bercerita tentang
rasa sakit mungkin karena saya (masih) takut sakit atau bisa juga karena saya
baru saja merasakan pengalaman sakit yang begitu mendera meski dokter sudah
memberi obat pereda rasa sakit. Banyak hal yang saya pikirkan saat didera rasa sakit, sebagian
besar hal yang saya pikirkan gagal untuk mengalihkan rasa sakit itu.
Mereka bilang itu
karena saya belum sepenuhnya mengendalikan pikiran.
Entah, apakah suatu
saat saya akan bisa mengendalikan pikiranku sepenuhnya. Kalau hal itu bisa saya
lakukan apa mungkin kita jadi tidak merasakan sakit atau paling tidak bisa
memilih untuk tidak merasakan rasa sakit. Sepertinya belum terpikirkan oleh
saya ketika suatu saat saat nanti saya tiba-tiba tidak bisa merasakan sakit.
Sakit akan selalu ada.
Bahkan saat kau sudah mampu mengendalikan pikiranmu. Tapi seperti rasa lainnya.
Sakit secara sadar harus tetap kau gandeng sebagai temanmu. Bersama rasa
senang, bahagia, sedih, marah, atau rasa apapun itu yang mungkin hanya kau
sendiri yang bisa merasakannya.
***
Tulisan tentang rasa
sakit di atas, timbul begitu saja saat sedang termenung menunggu datangnya rasa
kantuk. Memang ada pengalaman yang mendasarinya, sampai muncul ide untuk
menulis tentang rasa sakit ini.
14 Juli 2017, tanggal
yang mungkin akan sulit saya lupakan. Pagi itu saya merasa kondisi cukup lemas
saat bangun di pagi hari, tapi saya sudah membulatkan tekad untuk tetap
bekerja. Kondisi lemas juga bukan pertama kali saya rasakan. Sebelumya juga tidak
ada firasat sama sekali tentang kondisi lemas hari ini. Tepat pukul 06.40 saya
berangkat ke kantor, dengan mengendarai sepeda motor.
Setengah perjalanan
telah saya lewati kemudian sesuatu yang belum pernah saya rasakan terjadi.
Badan terasa berada di awang-awang, jantung berdegup kencang, perjalanan selama
naik motor seperti terasa menonton video yang di fast forward. Seperti ada bagian-bagian yang hilang.
Akhirnya saya menyerah,
sesampainya di kantor, saya minta tolong ke seorang teman, Zony, untuk
mengantar ke rumah sakit. Saya tidak yakin bisa datang ke rumah sakit sendiri.
Di
rumah sakit Kasih Ibu Kedonganan, saya langsung ditangani dokter jaga IRD. Cek
tensi, 80/50, itu cukup mengejutkan saya. Bodohnya, yang saya sampaikan ke
dokter atas kondisi tubuh saya bukanlah keterangan keseluruhan. Akhirnya
kesimpulan dokter pun hanya saya
mengalami fatigue yang disebabkan
kecapekan. Disuntikkan vitamin dan diminta istirahat dulu untuk beberapa hari.
Saya
menanam bom waktu.
Tak
berapa lama, istri saya pun datang ke rumah sakit setelah sebelumnya sempat saya
kirimkan pesan singkat bahwa saya harus masuk IRD. Dialah yang paling ngotot
untuk dilakukan cek darah untuk saya. Kemungkinan karena keterangan yang saya
berikan kepada dokter jaga tidak lengkap, jadi menurut dokter saya tidak perlu
untuk melakukan cek darah.
Sebenarnya
saya merasa masih lemas, tapi sepertinya akan lebih baik kalau beristirahat di
rumah saja. Akhirnya sekitar pukul 09.30 setelah diperbolehkan oleh dokter saya
meninggalkan rumah sakit menuju rumah. Motor terpaksa saya titip di parkiran
kantor karena memang kondisi saya tidak memungkinkan untuk mengendarainya
kembali ke rumah, saya ikut menumpang mobil kantor istri.
Atas
desakan istri, dari rumah sakit kita singgah dulu ke laboratorium klinik untuk
melakukan cek darah. Setelah itu saya pulang ke rumah menumpang grab car langsung saja tidur di kamar
kakak, tujuannya agar istirahat tidak terganggu oleh anak-anak yang pastinya
akan mengajak saya bermain kalau mereka tahu hari itu saya tidak masuk kantor.
Saya tertidur cukup lelap di kamar kakak.
Sekitar
pukul 11.30 saya mendengar suara gaduh di luar kamar, ada suara mobil masuk.
Diikuti dengan datangnya istri saya yang seharusnya sedang bekerja membangunkan
saya dengan wajah panik. Sepertinya memang ada masalah dari hasil cek darah
saya. Dengan wajah yang terlihat panik dan mata berkaca-kaca, istri bertanya
kepada saya.
“Ada
yang kamu sembunyikan. Hasil cek darahmu menunjukkan kadar Hemoglobin yang
sangat rendah, cuma 4,5. Kamu tahu gak
kadar Hb normal pria dewasa ada di rentang 10-13?”, aku cukup terkejut
mendengar penjelasan istri.
Akhirnya
semua saya jelaskan. Sesuatu yang sebenarnya seharusnya saya periksakan ke
dokter sejak berhari-hari yang lalu. Saya sejak berhari-hari yang lalu setiap
BAB selalu mengucurkan darah segar yang jumlahnya saya yakin tidak sedikit.
Raut wajah istri saya kelihatan kesal.
“Pokoknya
kita ke rumah sakit sekarang!”
Akhirnya
saat itu juga saya harus berangkat lagi ke rumah sakit, tepatnya di RSUD Badung
yang berlokasi di daerah Kapal, Kabupaten Badung. Karena menggunakan mobil
kantor istri dan kebetulan teman-teman kantornya turut serta, jadilah kondisi
mobil cukup penuh sehingga saya ditempatkan di tempat duduk di depan sebelah
sopir. Sepanjang perjalanan berbagai pikiran menyeramkan mulai menghantui benak
saya. Bercampur penyesalan.
Sampai
di RSUD Kapal, kami langsung di drop off di IRD, tidak lupa saya ucapkan terima kasih
kepada pak sopir dan teman-teman istri yang bersedia mengantarkan kami ke rumah
sakit. Dalam hidup saya, sebelum hari ini, saya belum pernah yang namanya opname, dalam artian harus menjalani
rawat inap di rumah sakit. Selalu ada yang pertama kalinya untuk semua hal
dalam hidup.
Masuk
ke IRD, istri sedang mengurus masalah administrasi IRD, saya langsung
ditempatkan di salah satu tempat tidur di pojok ruangan IRD yang siang itu
tampak sibuk. Seorang dokter jaga menanyai saya, “Kenapa ini pak?”
Spontan
saya jawab, “Saya lemas dok.”
“Apakah
ada riwayat penyakit sebelumnya atau mungkin cedera, benturan, alergi, atau
yang lainnya?”
Saya
menjawab singkat, “Tidak ada, Dok”
“Tapi
saya sudah cek darah,” sambung saya lagi setelah sunyi sebentar.
“O
gitu, hasil cek darah bagaimana?”
“Hb
saya 4,5 Dok”
Saya
bisa melihat raut terkejut dari wajah sang dokter. Langsung meminta perawat
memasangkan selang oksigen ke hidung dan dipasangi infus.
Pertama
kalinya dalam hidup saya memakai selang oksigen.
Rasane
aneh. Seperti menghisap cairan melalui hidung, tapi tidak terasa basah. Selanjutnya
saya hanya bisa berbaring lemas di suatu pojokan ruang tindakan IRD. (bersambung).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar