Selasa, 01 Februari 2011

Jalan Beraspal Tanpa Bangkai Hewan Liar

Suatu saat pernah terlintas pemikiran ini……..

Secara tak sengaja, saya pernah memperhatikan kondisi jalan di kampung halaman di Denpasar dengan kondisi jalanan di kota-kota besar seperti Surabaya dan Jakarta. Jalanan yang saya maksud adalah jalan raya berlapis aspal, terutama jalan-jalan arteri yang notabene kondisinya bagus, aspalnya kelihatan rata, halus, tanpa lubang, marka jalannya lengkap dan lebar. Tentunya dengan perkecualian jalanan beraspal yang kondisinya masih memprihatinkan dengan bopeng dan lubang-lubang mengangga yang kalau kita kurang waspada sungguh memberikan ketidaknyamanan dalam berkendara. Tapi bukan hal itu yang menjadi perhatian saya, ada satu hal lain yang lebih menarik perhatian saya bila dibandingkan dengan jalan beraspal di tempat lain khususnya jalan beraspal di kampung halaman. Mungkin sebenarnya memang memang terlalu jauh perbandingannya antara jalan di kota besar dengan jalan yang ada di desa, tapi menurut pengamatan saya, aspal jalan depan rumah lumayanlah, masih rata dan nyaman untuk dilewati. Walaupun terletak di pinggiran kota Denpasar, desa kami lumayan modernlah (narsis dikit…).

Terlepas dari modern atau tidak modern, kota atau desa, tengah kota ataupun pinggir kota, satu hal yang sering menarik perhatian saya adalah apabila ada bangkai hewan yang terlindas di tengah jalan. Bukan membicarakan hal yang jorok dan kotor tentunya, keberadaan bangkai hewan yang terlindas atau tertabrak di tengah jalan beraspal dari segi estetika memang kadang menusuk mata (adow…), tapi semakin saya pikir, malah timbul suatu pemikiran yang boleh dikatakan “cukup kurang kerjaan” dalam diri ini. Saya coba tarik kembali pengalaman saya ke 15 tahun yang lalu, di jalanan aspal depan rumah itu, terkesan sebagai arena pembantaian bagi binatang liar semacam ular, kodok, kadal, dll. Tiap pagi sambil berjalan kaki ke sekolah, jalan beraspal sudah akan dihiasi oleh berbagai macam bangkai binatang liar yang mati terlindas kendaraan yang lewat. Binatang-binatang peliharaan seperti anjing atau kucing ataupun binatang yang berupa hama semacam tikus yang saya keluarkan dari kategori binatang liar. Kalau saya mencoba berpikir, kenapa sampai ular atau kodok itu bisa terlindas di jalanan aspal? ya tentunya karena mereka melewati jalan itu saat ada kendaraan yang melintas. Kenapa mereka melewatinya? Satu hal yang paling pasti menyebabkannya dalam pemikiran saya karena mereka memang harus melewatinya, maksud saya mungkin secara naluriah, untuk mencari tempat yang aman atau mendekati sumber makanan. Darimana mereka berasal? Tentunya mereka berasal dari ekosistem di sekitar jalan atau yang letaknya relatif dekat dengan posisi jalan beraspal itu berada. Bangkai binatang liar apa yang paling banyak saya lihat? Ular dan kodok

…Hmmm… so?

Saya kemudian melompat lagi (ala Quantum Leap) ke jaman sekarang (present day-ingat, bangkai binatang hama atau peliharaan seperti tikus, ayam, anjing, dll tidak masuk dalam kategori bangkai binatang liar yang kita bicarakan). Jangankan di jalanan aspal Jakarta atau Surabaya, dalam periode sekarang bahkan di jalanan depan rumah di kampung saya sangat jarang, hampir tidak pernah lagi melihat bangkai binatang liar yang terlindas di jalan beraspal. Apa artinya ini? saya memiliki beberapa kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan berkurangnya hewan liar yang terlindas secara drastis, diantaranya, yaitu :

1. Petugas DKP yang sangat sigap, sehingga begitu ada bangkai hewan liar yang terlindas, pada dini hari atau pagi-pagi sekali sudah langsung dibersihkan tanpa bekas;

2. Hewan-hewan liar sudah banyak belajar dari pengalaman, akhirnya memutuskan untuk menjaga nyawanya dengan lebih baik dengan menghindari jalanan beraspal agar tidak terlindas kendaraan (kemungkinan yang tidak mungkin saya kesampingkan…)

3. Atau memang jumlah hewan-hewan liar itu sudah jauh berkurang? Mungkin beberapa tahun yang lalu, sebelum ada jalan beraspal, tempat itu merupakan suatu ekosistem alami yang di dalamnya dihuni oleh berbagai hewan dan tumbuhan yang hidup bergotong royong penuh dengan rasa kekeluargaan (*&%^%&^%@#...). Kemudian dimulailah periode pembangunan yang didominasi oleh kita a.k.a. manusia, membangun rumah, membangun jalan sehingga semakin lama ekosistem yang sudah ada itu menjadi terdesak. Apa ciri-ciri ekosistem itu terdesak? Ya itulah saat beberapa penghuni ekosistem alami itu seperti ular atau kodok terpaksa masuk ke dalam ekosistem manusia, terpaksa melewati jalanan beraspal itu secara naluriah untuk mencari tempat yang aman ataupun mendekati sumber makanan. Pada dasarnya hewan liar jika mampu memilih, tentunya tidak akan memasuki ekosistem yang sangat asing baginya yang dirasakannya membahayakan dirinya sendiri. Tentunya yang lagi apes, terpaksa gugur di medan perang terlindas ban mobil atau sepeda motor kita.

Jadi, dari tiga kemungkinan di atas, kemungkinan yang ketiga yang selalu memenuhi pikiran saya. Okelah dulu masih ada bangkai hewan liar yang terlindas, paling tidak itu menandakan sesuatu, apa itu? Itu menandakan bahwa ekosistem mereka masih ada, mereka sedang terdesak oleh kita. Lalu bagaimana dengan keadaan sekarang? Apakah mereka masih terdesak oleh kita? Kalau masih terdesak kenapa bangkai hewan-hewan liar menjadi sangat jauh berkurang bahkan hampir tidak ada di kota-kota besar? Atau jangan-jangan mereka sudah tidak terdesak lagi, lalu kenapa mereka sudah tidak terdesak lagi? Apakah mereka tidak terdesak lagi karena ekosistem mereka, ekosistem hewan-hewan liar sudah tidak ada lagi….?

Terus terang saya sangat sedih jika ternyata ekosistem alami mereka yang sudah punah/hilang/hancur sebagai salah satu faktor utama penyebab jalan-jalan beraspal kita tetap "bersih"....

2 komentar:

  1. mungkin berkurangnya bangkai hewan di jalan raya krn internet sudah merambah tidak hanya di kalangan manuisa,...tp juga hewan.jd mereka jarang keluar , mungkin asyik fesbukan...chatting dngan sesama spesiesnya untuk membicarakan efek domino krisis perubahan iklim global (sama seperti krisis keuangan global mengakibatkan efek domino bagi semua sisi kehidupan manusia)
    dan mereka juga sudah semakin berkembang pengetahuan lalu lintasnya, dan mengetahui hak-haknya di jalan raya.sebagai korban dari pencatutan nama yang dilakukan manusia terhadap namanya ,si Zebra tentu punya hak untuk menuntut kesamaan hak bagi para hewan, khususnya spesies kuda lumping..eh,maaf...kuda zebra untuk menyeberang di jalan dengan aman.apalagi dari dulu si Zebra tidak pernah mendapat royalti dari penggunaan namanya untuk dipakai sebagai nama rambu2 jalan.dari segi hukum, kelemahan mereka untuk menuntut kesamaan hak, seperti yang tercantum dalam Piagam Hak Asasi Manusia se_Dunia yang diperingati tiap tanggal 10 Desember,membuat mereka perlu mendudukkan wakilnya dalam kursi senator di negara adidaya amerika serikat. namanya adalah Beast,salah seorang anak asuh Dr. Xavier....mungkin ini saatnya bagi manusia untuk hidup rukun dengan sesama manusia (agar tidak terjadi kejadian seperti di Temanggung), tp juga dngn sesama mahluk cioptaan Tuhan yang lain...yaitu dengan Hewan (seperti persahabatan Tarzan dan Cheetah, Dr Doolitle dan pasien hewannya)...bahkan hidup yang selaras anatara manusia dengan tumbuhan (seperti Poison Ivy dalam film Batman Forever, LUcy dalam film Narnia)...entah kapan itu akan bisa berwujud....tp yang pasti kehidupan yang selaras itu akan datang, kalau tidak dalam dunia nyata, itu bisa kita imajinasikan lebih dulu (kata John Lenon dalam lagunya yg berjudul "Imagine").....

    BalasHapus
  2. atau mungkin mereka sebenarnya gak butuh internet ya? mereka memiliki sesuatu yang lebih canggih dari internet untuk saling berkomunikasi melewati batas kemampuan komunikasi manusia. Mereka bisa bahasa alam, ditunjukkan oleh kepekaan terhadap cuaca, naluri yang tajam akan sesuatu yang mengancam. (Mereka ga perlu cari info ke Badan Meteorologi dan Geofisika untuk tahu adanya perubahan cuaca dan iklim)
    Mereka tidak perlu Piagam Hak Asasi karena mereka tidak butuh dokumen untuk mensahkan hak hidup mereka, mereka bebas atas nama kehendak alam.
    Binatang dan alam terus saling berkomunikasi. Dan sepertinya tidak semua manusia bisa ikut terlibat dalam komunikasi mereka. Mungkin kata komunikasi itu sendiri masih terlalu terbatas untuk menggambarkan hubungan alam itu sendiri dengan para penghuninya....

    BalasHapus