Sabtu, 23 Maret 2019

Sebuah Tatanan Khayalan

Pak Djarot menggumam pelan, sambil dibantingnya buku bersampul putih tebal bertuliskan “Sapiens”. Buku tebal pertamanya sejauh ini, masih berbau rak toko buku, sampul plastiknya bahkan belum dibuang ditempat sampah, masih keleleran di samping kursi televisinya. Kursi televisi, begitu pak Djarot menyebut kursinya saban hari untuk menonton televisi, menonton gosip, berita-berita yang menurutnya hoax semua, sepak bola, tinju sampai kadang-kadang pak Djarot sendiri yang ditonton televisinya.
Seperti mendapat pencerahan, pak Djarot celingak-celinguk mencari orang rumah yang sejak tadi sepi-sepi saja. Djarot sudah pasti sedang sekolah, Dina juga. Berarti tinggal Bu Djarot yang sejak tadi sibuk di dapur. Mungkin sedang memasak.
Setelah menyeruput sisa kopi dinginnya, pak Djarot segera bangkit dari duduknya yang malas, ingin membagi “pencerahannya” kepada bu Djarot. Setelah membaca subbab Tatanan Khayalan dari buku putih Yuval Noah Harrari itu.
Sambil memperbaiki sarung, Pak Djarot nyeletuk di belakang bu Djarot yang tampak sibuk mencuci piring.
“Manusia itu ternyata makhluk yang suka mengkhayal ya Bu. Semua hal yang kita percayai dan anut selama ini adalah buah khayalan manusia juga,” gaya pak djarot seperti membuka kuliah umum.
Bu Djarot hanya terdiam, tangannya belum beranjak dari bak cuci piring, bahkan cenderung bergerak lebih cepat.
“Negara, perusahaan, undang-undang itu sebenarnya gak ada lho Bu, itu hanya buah khayalan manusia saja. Manusia selalu membutuhkan pegangan untuk mereka percayai dan anut, agar mereka bisa mengatur dirinya dan mengatur orang lain. Tapi sebenarnya tetap saja tidak semuanya bisa diatur,” pak Djarot mengatur nafas sebentar, sebenarnya sambil mengingat-ngingat lagi subbab yang baru dibacanya. Kebanyakan sudah dilupakan.
“Indonesia ini kan ada tho Pak?!,” tiba-tiba bu Djarot menyela.
“Entah berapa banyak darah, air mata, tubuh, harta dan jiwa yang dibutuhkan sampai saat Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Masak bapak bilang itu khayalan, nyatanya ada kok,” bu Djarot hampir menyelesaikan bilasan piring terakhir.
Pak Djarot tersenyum penuh kemenangan, respon ini memang dia harapkan.
“Begini Bu, coba kita lihat lagi, negara itu siapa? Apakah presiden negara? Rakyat negara? Aparat itu negara? Tidak juga, kenapa ada undang-undang? Kenapa negara masih berdiri, ya karena kita-kita ini masih percaya, masih meyakini. Betul nggak? Coba kalau kita-kita ini tidak meyakini, tidak percaya, ya apa masih berdiri negara ini? Tatanan yang ada dalam benak manusialah yang membuat negara itu ada. Lha kita ini penduduk bumi semua kan? Tinggal di bumi semua kan? Kenapa ada banyak negara? Ya karena masing-masing kelompok besar yang disebut bangsa memiliki tatanan yang mereka percaya masing-masing, nilai-nilai yang disepakati bersama untuk menjadi satu dalam sebuah kesatuan yang mereka sebut bangsa. Sejak itulah muncul batas wilayah, lagu kebangsaan, bahasa negara, semua itu untuk melanggengkan konsep-konsep tentang tatananan yang sebenarnya tidak lebih dari khayalan manusia, betul nggak?”
Bu Djarot tersenyum sebentar. Pak Djarot ikut tersenyum puas, nampaknya Bu Djarot mulai mengerti maksud pembicaraannya. Jarang-jarang pak Djarot membaca buku, baru kali ini dia memaparkan pengetahuan yang telah ia dapat dari buku putih tebal itu.
Belum selesai pak Djarot mengagumi argumennya sendiri, bu Djarot tiba-tiba bicara, “Berarti konsep pernikahan pun juga hanya khayalan kita belaka ya Pak. Pernikahan itu langgeng sepanjang dua orang yang terikat di dalamnya meyakini dan mempercayainya. Boleh dibilang, pernikahan itu sebenarnya tidak ada, hanya konsep khayalan manusia. Tujuannya agar nanti mereka yang terikat bisa saling  merawat sampai tua, bisa melestarikan jenisnya, agar tidak kesepian. Itu saja kan?
Bapak memperoleh faedah dari pernikahan, minimal selalu ada secangkir kopi yang dihidangkan di pagi hari, tapi dari kenikmatan itu juga muncul kewajiban bapak kepada saya minimal memberikan uang untuk membeli kopi agar ada yang diseduh pagi-pagi untuk dihidangkan.”
Pak Djarot termenung sebentar.
“Nah suatu hal yang bapak sebut sebagai tatanan khayalan itu tidak bisa juga dianggap tidak ada, dia sama seperti pemikiran kita, yang tak kasat mata, tapi ada sepanjang kita masih berpikir. Bukan berarti tatanan khayalan itu abadi, tapi dia bisa berganti, hanya waktu yang bisa menjawabnya. Saya cukup setuju dengan pernyataan bapak, bahwa selama kita percaya, meyakini, dan merawatnya, tatanan khayalan itu akan tetap langgeng.”
Tiba-tiba pak Djarot memotong penjelasan bu Djarot. “Sebentar Bu, ibu habis baca buku apa?”
Seingat pak Djarot istrinya seharian lebih banyak hanya di dapur saja.
Bu Djarot tersenyum lebih lebar. Kali ini dengan penuh kemenangan.
Dia hanya menjawab, “Kalau bapak mencari sesuatu yang nyata saat ini, itu rumput di halaman rumah sudah panjang, tidak terawat. Coba direnungkan lagi sambil memotong dan merapikan rumput itu.”
Pak Djarot kembali tersenyum.
Tanpa banyak bicara, berangkat ke gudang mengambil gunting rumput, bersiap-siap menghadapi kenyataan hari ini. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar