Pagi
itu dia bangun meringis sambil memegangi bawah ketiaknya yang masih bengkak dan
membiru, darah yang mengering terlihat menghitam di sudut bawah bibirnya yang
lebam. Dengan mengerahkan sisa-sisa tenaganya, pria itu tampak menggeliat berusaha
mendudukkan punggungnya di sudut ruangan yang gelap dan jorok itu. Nafasnya
masih terengah-engah mengingat kejadian yang telah dilewatinya beberapa jam
yang lalu. Teriakan-teriakan makian dan pukulan serta tendangan yang harus
ditanggungnya masih berputar berulang-ulang dalam benaknya seperti sebuah
kilasan gambar-gambar beresolusi tinggi hasil jepretan kamera barunya. Tubuhnya
sedikit mengejang dan merinding ketika teringat kamera itu. Ada sesuatu yang
membuatnya ciut, tubuhnya masih diliputi ketakutan yang mendalam, ketakutan
yang terus menghantuinya selama ini. Saat ini penglihatannya sangat buruk,
kedua matanya menyipit akibat bengkak yang semakin hari semakin membiru
ditutupi oleh rambutnya yang panjang dan tak terawat. Dia lupa sudah berapa lama
dia berada di dalam ruangan itu, semua tampak sama dan gelap, tubuhnya yang tak
berselimut mulai terbiasa dengan lantai beton yang keras, kasar, dan dingin,
punggungnya yang penuh bekas pukulan sudah tidak berontak lagi ketika bersandar
di sudut tembok lembab dan berlumut. Dia tidak tahu apakah hari ini siang atau
malam, seperti tidak mengenal dirinya lagi, sekian lama rasanya waktu sudah
terlewati, satu-satunya patokan waktu dimulainya hari adalah saat sepiring nasi
putih tanpa lauk dilempar sekenanya ke dalam ruangannya itu melalui lubang segi
empat sempurna yang hanya bisa dibuka dari luar di sebuah pintu besi kokoh yang
selalu terkunci rapat.
Sambil
menyorongkan lututnya ke dagu, pria itu hanya tertunduk mencoba mengumpulkan
keping-keping ingatannya yang masih menerawang jauh melewati ruangan 3 x 3
meter yang menyedihkan itu. Saat ini, hal yang terpenting baginya adalah
otaknya masih dapat bekerja walaupun sudah berkali-kali menerima pukulan dari
para penjaga tempat itu. Sekali lagi dia kembali teringat akan kejadian itu,
kejadian pada tanggal 15 Desember 2009, satu-satunya tanggal yang sebenarnya
sangat ingin dilupakannya selama menghabiskan waktu di ruang pengap ini.
*****
15 Desember 2009
Sore
itu mendung, tapi wajah Hoek tampak sumringah dan berseri-seri. Langkah kakinya
terasa ringan dan penuh semangat. Sebuah tas compact kamera yang masih berbau
toko bergelayutan menggantung di bahu kurusnya. Barang apa yang lebih
menggembirakan bagi seorang fotografer selain sebuah kamera baru idaman bermerek
dengan nomor seri yang hanya dua digit. Hoek bukanlah seorang fotografer amatir
dan dia menyadari itu. Seolah punya indera keenam Hoek selalu tahu harus kemana
mengarahkan jepretan kameranya. Beberapa surat kabar terkemuka dan tidak
sedikit majalah-majalah bonafid
menawarinya untuk menjadi fotografer utama dengan jumlah bayaran yang
menggiurkan, namun Hoek selalu menampiknya. Baginya jumlah bayaran itu tidak
dapat membayar kebebasannya mengabadikan momen yang ditangkap oleh “indera
keenam” yang dia banggakan itu. Dia adalah orang yang percaya bahwa kreativitas
manusia akan menjadi kerdil jika harus dikendalikan oleh orang lain, pun terkadang
merasa jijik melihat fotografer yang hanya mengejar-ngejar foto untuk berita
terpanas demi mendapatkan bayaran lebih besar terlebih lagi para fotografer
yang memeras orang lain dengan hasil fotonya. Alhasil dengan hidup yang
pas-pasan, kamera barunya baru terbeli setelah menabung sekian lama, biaya
hidupnya pun banyak tergantung pada para pencari foto yang dianggapnya layak
memiliki karya-karya seorang Hoek yang eksentrik.
Dengan
vespa tuanya, hari ini Hoek membiarkan dirinya melaju dengan hanya dituntun
“indera keenam”-nya mencari spot yang
ideal untuk mengambil gambar-gambar indah untuk koleksi pribadinya. Vespa
tuanya terus mengarah ke pinggiran kota yang semakin sepi. Saat ini koleksi
Hoek mungkin sudah ada ribuan yang dia cetak, sebagian besar karya-karya
fotonya ditempatkan di sebuah kamar khusus di rumahnya. Walaupun tidak terlalu
mewah dan kadang bocor, kamar sederhana tapi bersih itu adalah galeri
pribadinya. Setiap hari sebelum berangkat hunting
foto, dia akan menyempatkan diri untuk memandangi koleksi foto-foto
kesayangannya. Hoek tahu, tidak semua orang bisa merasakan keindahan dalam
foto-fotonya, namun dia percaya suatu saat nanti karya-karyanya akan menjadi koleksi
yang paling dicari di kolong jagat ini.
Saat
malam tiba, vespa yang tangki bensinnya hampir kosong itu melaju ke sebuah
jembatan tua di sudut kota yang sepi. Naluri Hoek seolah berkata, “this is the place, man!”, pelan-pelan
dia menepi dan akhirnya vespa tuanya mati dengan sendirinya. Dengan sabar
dituntunnya vespa penuh lecet itu dan menempatkannya di sebuah jorokan tanah
membelah ilalang yang tumbuh tinggi di pinggir jalan dekat jembatan tua itu. Vespanya
sekarang bagai bunglon yang sedang bersembunyi. Cat ijo tua penuh karatnya
ditutupi oleh padang ilalang lebat yang gelap. Tidak akan ada yang menyangka
sebuah vespa tua terongok di sana, menunggu sang majikan yang sedang sumringah
malam itu.
Malam
itu ternyata malam bulan purnama. Hoek tersenyum kecil sambil berkata pada
dirinya sendiri, “hari ini alam memilihku
untuk mengabadikan keindahannya, kau memang pria yang beruntung Hoek”. Rasa
lapar yang sejak tadi mencengkeram perutnya terasa sudah lepas begitu saja,
bulan yang semakin benderang dan menutupi cahaya bintang terasa lebih menarik
bagi seorang fotografer seperi Hoek. Dia sepertinya tidak terlalu memikirkan
cara bagaimana untuk pulang dengan vespa yang tangki bensinnya kosong. Sebuah jembatan
tua dihiasi lampu remang-remangnya sudah menunggu untuk diabadikan ditemani
sinar rembulan yang bersinar lembut. Hoek tahu, jembatan tua penuh karat itu
sangat kesepian, sudah sekian lama tak seorang pun berkunjung atau sekedar
lewat di jembatan peninggalan kolonial Belanda itu.
*****
Tiba-tiba
Hoek terbangun oleh suara deru mobil sedan hitam gelap yang berhenti di
tengah-tengah jembatan tua saat tengah malam. Hoek memang tertidur di tempat
itu setelah puas mengambil gambar, persis di atas rerumputan liar di balik
semak ilalang yang membumbung tinggi dengan beralaskan koran bekas. Hoek sudah
terbiasa tidur di alam bebas demi sebuah momentum yang dianggapnya langka untuk
melengkapi koleksi foto pribadinya. Dengan masih mengumpulkan kesadarannya
sambil memicingkan matanya dari kejauhan dia berpikir mungkin mobil ini bisa
memberikan tumpangan untuknya minimal ke pompa bensin terdekat, namun tiba-tiba
dia mengurungkan niatnya setelah melihat tiga sosok hitam yang keluar dari
mobil tampak mencurigakan. Gerak-gerik ketiga sosok itu menggambarkan
kewaspadaan tingkat tinggi yang penuh misteri. Sesosok yang paling tinggi
langsung menuju bagasi dan tampak menarik sesuatu atau… seseorang dari dalam
bagasi. Hoek terperanjat dan sedikit membungkukkan tubuhnya kembali agar
terlindungi oleh rumput ilalang yang tumbuh tinggi di depannya, firasatnya
mengatakan ada sesuatu yang tidak beres di sini. Seseorang yang baru
dikeluarkan dari bagasi mobil itu adalah seorang pria yang kepalanya terbungkus
kain hitam dan kedua tangan terikat di belakang punggungnya, dengan reflex tangan Hoek menggapai kamera
barunya dan membidik tiap-tiap adegan tidak biasa yang terjadi di depan
matanya. Pria yang kepalanya terbungkus kain hitam diposisikan berdiri di
samping jembatan dengan dipegangi dua orang yang terlihat lebih tegap dan tinggi
dari sosok ketiga yang tampak berdiri di depan sosok tak berdaya di pinggir
jembatan. Mereka tampak membicarakan sesuatu, tetapi pria yang kepalanya
terbungkus hanya terlihat menggeleng-gelengkan kepalanya seperti meneriakkan
sesuatu sambil tetap melakukan hentakan-hentakan tanpa daya di bawah cengkraman
tangan besar dua orang yang memeganginya. Tiba-tiba saja sosok gempal pendek di
depan pria malang itu mencabut sesuatu dari balik punggungnya, sebuah pistol
berperedam yang ditembakkan berkali-kali ke arah badan pria tak berdaya dengan
kepala terbungkus itu. Walaupun bergetar hebat, jari Hoek tapi tetap lincah menekan
tombol capture di kamera barunya.
Satu-satunya hal yang membuatnya lebih terkejut malam ini ketika wajah pria
yang menembakkan pistol itu tertangkap oleh kamera Hoek. Hoek mengenal pria ini
walaupun tidak secara pribadi, wajahnya selalu terpampang di headline koran-koran kota ini. Bukan
penjahat, pria ini bukan dikenal sebagai penjahat, malah pria ini adalah pria
yang sangat terhormat, pria yang sangat berkuasa di kota ini, semua orang di
kota ini segan dan menghormatinya, tidak salah lagi, darah Hoek seolah membeku
dan raut wajahnya menjadi pucat pasi. Tangan Hoek terkulai lemas, kakinya
bergetar hebat. Bahkan saat tubuh pria yang sudah tak bernyawa itu dijatuhkan
ke arah sungai di bawah jembatan tua itu, Hoek masih terdiam, masih membatu,
masih tidak percaya dengan serentetan kejadian yang dilihatnya tadi. “Demi Tuhan, Hoek!”, dia berkata dalam
hati, tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang, malam itu semua
ketakutan dan kebingungan yang pernah dirasakannya seolah berkumpul menjadi
satu dan kini hanya tinggal dia sendiri di jembatan tua itu. Sinar lemburan
bagi Hoek sudah tidak terasa lembut lagi. Bahkan udara malam yang dingin tidak
mampu menghapus rasa panas yang sekarang menjalari rongga dadanya.
*****
Hal
terakhir yang diingat Hoek adalah saat menyerahkan hasil cetak foto kejadian
mengerikan itu kepada polisi. Memory kamera dan CD softcopy hasil fotonya telah
disimpannya di suatu tempat yang sangat aman, mungkin hanya Hoek dan Yang Maha
Sempurna yang tahu tempat itu. Selebihnya hanya gelap dan kabur.
Ingatannya
yang menerawang seolah kembali masuk ke dalam tubuh pria kurus tak terawat yang
terpenjara dalam ruangan gelap itu. Pria ini menyadari bahwa segalanya tidak
berjalan sesuai dengan yang dia harapkan. Dia tahu bahwa dirinya telah berbuat
benar. Dia tidak menyesal, mulutnya tetap terkatup rapat, seandainya masih
punya tenaga mungkin tulang rahangnya sedang bergemeretak sekarang. Sepertinya
tidak akan mudah lolos dari tempat ini, raungan dan makian yang selalu bertanya
kepadanya tiap malam akan terus ada. Setiap pukulan dan tendangan yang
diterimanya melewati malam menghancurkan tubuhnya, tetapi terbukti malah
membuat tekadnya semakin kuat menutup mulutnya rapat-rapat. Kadang-kadang
begitu sakit rasa yang menghujam tubuhnya sampai tak bisa lagi dirasakannya.
Badannya yang semakin ringkih tampak tua terasa sangat letih dalam
kebungkamannya. Lamunannya tiba-tiba buyar oleh bunyi derit pintu besi yang
terbuka di depannya, sesosok tubuh tinggi besar yang masuk seperti biasanya
menggenggam tongkat hitam seolah terbang melayang mendekatinya. Matanya yang
berkilau tajam memandang sesosok tubuh lemah yang tak berdaya itu dengan liar.
Pria kurus dengan pandangan teduh itu hanya menghela napas panjang sambil
berdoa tarikan napas itu bukanlah yang terakhir. Kepalanya hanya tertunduk dan
berharap malam ini akan segera terlewati.(*)
Bintaro, 20 Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar