Kamis, 09 Maret 2017

Kamera Hoek



Pagi itu dia bangun meringis sambil memegangi bawah ketiaknya yang masih bengkak dan membiru, darah yang mengering terlihat menghitam di sudut bawah bibirnya yang lebam. Dengan mengerahkan sisa-sisa tenaganya, pria itu tampak menggeliat berusaha mendudukkan punggungnya di sudut ruangan yang gelap dan jorok itu. Nafasnya masih terengah-engah mengingat kejadian yang telah dilewatinya beberapa jam yang lalu. Teriakan-teriakan makian dan pukulan serta tendangan yang harus ditanggungnya masih berputar berulang-ulang dalam benaknya seperti sebuah kilasan gambar-gambar beresolusi tinggi hasil jepretan kamera barunya. Tubuhnya sedikit mengejang dan merinding ketika teringat kamera itu. Ada sesuatu yang membuatnya ciut, tubuhnya masih diliputi ketakutan yang mendalam, ketakutan yang terus menghantuinya selama ini. Saat ini penglihatannya sangat buruk, kedua matanya menyipit akibat bengkak yang semakin hari semakin membiru ditutupi oleh rambutnya yang panjang dan tak terawat. Dia lupa sudah berapa lama dia berada di dalam ruangan itu, semua tampak sama dan gelap, tubuhnya yang tak berselimut mulai terbiasa dengan lantai beton yang keras, kasar, dan dingin, punggungnya yang penuh bekas pukulan sudah tidak berontak lagi ketika bersandar di sudut tembok lembab dan berlumut. Dia tidak tahu apakah hari ini siang atau malam, seperti tidak mengenal dirinya lagi, sekian lama rasanya waktu sudah terlewati, satu-satunya patokan waktu dimulainya hari adalah saat sepiring nasi putih tanpa lauk dilempar sekenanya ke dalam ruangannya itu melalui lubang segi empat sempurna yang hanya bisa dibuka dari luar di sebuah pintu besi kokoh yang selalu terkunci rapat.
Sambil menyorongkan lututnya ke dagu, pria itu hanya tertunduk mencoba mengumpulkan keping-keping ingatannya yang masih menerawang jauh melewati ruangan 3 x 3 meter yang menyedihkan itu. Saat ini, hal yang terpenting baginya adalah otaknya masih dapat bekerja walaupun sudah berkali-kali menerima pukulan dari para penjaga tempat itu. Sekali lagi dia kembali teringat akan kejadian itu, kejadian pada tanggal 15 Desember 2009, satu-satunya tanggal yang sebenarnya sangat ingin dilupakannya selama menghabiskan waktu di ruang pengap ini.



*****


15 Desember 2009
Sore itu mendung, tapi wajah Hoek tampak sumringah dan berseri-seri. Langkah kakinya terasa ringan dan penuh semangat. Sebuah tas compact kamera yang masih berbau toko bergelayutan menggantung di bahu kurusnya. Barang apa yang lebih menggembirakan bagi seorang fotografer selain sebuah kamera baru idaman bermerek dengan nomor seri yang hanya dua digit. Hoek bukanlah seorang fotografer amatir dan dia menyadari itu. Seolah punya indera keenam Hoek selalu tahu harus kemana mengarahkan jepretan kameranya. Beberapa surat kabar terkemuka dan tidak sedikit majalah-majalah bonafid menawarinya untuk menjadi fotografer utama dengan jumlah bayaran yang menggiurkan, namun Hoek selalu menampiknya. Baginya jumlah bayaran itu tidak dapat membayar kebebasannya mengabadikan momen yang ditangkap oleh “indera keenam” yang dia banggakan itu. Dia adalah orang yang percaya bahwa kreativitas manusia akan menjadi kerdil jika harus dikendalikan oleh orang lain, pun terkadang merasa jijik melihat fotografer yang hanya mengejar-ngejar foto untuk berita terpanas demi mendapatkan bayaran lebih besar terlebih lagi para fotografer yang memeras orang lain dengan hasil fotonya. Alhasil dengan hidup yang pas-pasan, kamera barunya baru terbeli setelah menabung sekian lama, biaya hidupnya pun banyak tergantung pada para pencari foto yang dianggapnya layak memiliki karya-karya seorang Hoek yang eksentrik.
Dengan vespa tuanya, hari ini Hoek membiarkan dirinya melaju dengan hanya dituntun “indera keenam”-nya mencari spot yang ideal untuk mengambil gambar-gambar indah untuk koleksi pribadinya. Vespa tuanya terus mengarah ke pinggiran kota yang semakin sepi. Saat ini koleksi Hoek mungkin sudah ada ribuan yang dia cetak, sebagian besar karya-karya fotonya ditempatkan di sebuah kamar khusus di rumahnya. Walaupun tidak terlalu mewah dan kadang bocor, kamar sederhana tapi bersih itu adalah galeri pribadinya. Setiap hari sebelum berangkat hunting foto, dia akan menyempatkan diri untuk memandangi koleksi foto-foto kesayangannya. Hoek tahu, tidak semua orang bisa merasakan keindahan dalam foto-fotonya, namun dia percaya suatu saat nanti karya-karyanya akan menjadi koleksi yang paling dicari di kolong jagat ini.
Saat malam tiba, vespa yang tangki bensinnya hampir kosong itu melaju ke sebuah jembatan tua di sudut kota yang sepi. Naluri Hoek seolah berkata, “this is the place, man!”, pelan-pelan dia menepi dan akhirnya vespa tuanya mati dengan sendirinya. Dengan sabar dituntunnya vespa penuh lecet itu dan menempatkannya di sebuah jorokan tanah membelah ilalang yang tumbuh tinggi di pinggir jalan dekat jembatan tua itu. Vespanya sekarang bagai bunglon yang sedang bersembunyi. Cat ijo tua penuh karatnya ditutupi oleh padang ilalang lebat yang gelap. Tidak akan ada yang menyangka sebuah vespa tua terongok di sana, menunggu sang majikan yang sedang sumringah malam itu.
Malam itu ternyata malam bulan purnama. Hoek tersenyum kecil sambil berkata pada dirinya sendiri, “hari ini alam memilihku untuk mengabadikan keindahannya, kau memang pria yang beruntung Hoek”. Rasa lapar yang sejak tadi mencengkeram perutnya terasa sudah lepas begitu saja, bulan yang semakin benderang dan menutupi cahaya bintang terasa lebih menarik bagi seorang fotografer seperi Hoek. Dia sepertinya tidak terlalu memikirkan cara bagaimana untuk pulang dengan vespa yang tangki bensinnya kosong. Sebuah jembatan tua dihiasi lampu remang-remangnya sudah menunggu untuk diabadikan ditemani sinar rembulan yang bersinar lembut. Hoek tahu, jembatan tua penuh karat itu sangat kesepian, sudah sekian lama tak seorang pun berkunjung atau sekedar lewat di jembatan peninggalan kolonial Belanda itu.
*****
Tiba-tiba Hoek terbangun oleh suara deru mobil sedan hitam gelap yang berhenti di tengah-tengah jembatan tua saat tengah malam. Hoek memang tertidur di tempat itu setelah puas mengambil gambar, persis di atas rerumputan liar di balik semak ilalang yang membumbung tinggi dengan beralaskan koran bekas. Hoek sudah terbiasa tidur di alam bebas demi sebuah momentum yang dianggapnya langka untuk melengkapi koleksi foto pribadinya. Dengan masih mengumpulkan kesadarannya sambil memicingkan matanya dari kejauhan dia berpikir mungkin mobil ini bisa memberikan tumpangan untuknya minimal ke pompa bensin terdekat, namun tiba-tiba dia mengurungkan niatnya setelah melihat tiga sosok hitam yang keluar dari mobil tampak mencurigakan. Gerak-gerik ketiga sosok itu menggambarkan kewaspadaan tingkat tinggi yang penuh misteri. Sesosok yang paling tinggi langsung menuju bagasi dan tampak menarik sesuatu atau… seseorang dari dalam bagasi. Hoek terperanjat dan sedikit membungkukkan tubuhnya kembali agar terlindungi oleh rumput ilalang yang tumbuh tinggi di depannya, firasatnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres di sini. Seseorang yang baru dikeluarkan dari bagasi mobil itu adalah seorang pria yang kepalanya terbungkus kain hitam dan kedua tangan terikat di belakang punggungnya, dengan reflex tangan Hoek menggapai kamera barunya dan membidik tiap-tiap adegan tidak biasa yang terjadi di depan matanya. Pria yang kepalanya terbungkus kain hitam diposisikan berdiri di samping jembatan dengan dipegangi dua orang yang terlihat lebih tegap dan tinggi dari sosok ketiga yang tampak berdiri di depan sosok tak berdaya di pinggir jembatan. Mereka tampak membicarakan sesuatu, tetapi pria yang kepalanya terbungkus hanya terlihat menggeleng-gelengkan kepalanya seperti meneriakkan sesuatu sambil tetap melakukan hentakan-hentakan tanpa daya di bawah cengkraman tangan besar dua orang yang memeganginya. Tiba-tiba saja sosok gempal pendek di depan pria malang itu mencabut sesuatu dari balik punggungnya, sebuah pistol berperedam yang ditembakkan berkali-kali ke arah badan pria tak berdaya dengan kepala terbungkus itu. Walaupun bergetar hebat, jari Hoek tapi tetap lincah menekan tombol capture di kamera barunya. Satu-satunya hal yang membuatnya lebih terkejut malam ini ketika wajah pria yang menembakkan pistol itu tertangkap oleh kamera Hoek. Hoek mengenal pria ini walaupun tidak secara pribadi, wajahnya selalu terpampang di headline koran-koran kota ini. Bukan penjahat, pria ini bukan dikenal sebagai penjahat, malah pria ini adalah pria yang sangat terhormat, pria yang sangat berkuasa di kota ini, semua orang di kota ini segan dan menghormatinya, tidak salah lagi, darah Hoek seolah membeku dan raut wajahnya menjadi pucat pasi. Tangan Hoek terkulai lemas, kakinya bergetar hebat. Bahkan saat tubuh pria yang sudah tak bernyawa itu dijatuhkan ke arah sungai di bawah jembatan tua itu, Hoek masih terdiam, masih membatu, masih tidak percaya dengan serentetan kejadian yang dilihatnya tadi. “Demi Tuhan, Hoek!”, dia berkata dalam hati, tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang, malam itu semua ketakutan dan kebingungan yang pernah dirasakannya seolah berkumpul menjadi satu dan kini hanya tinggal dia sendiri di jembatan tua itu. Sinar lemburan bagi Hoek sudah tidak terasa lembut lagi. Bahkan udara malam yang dingin tidak mampu menghapus rasa panas yang sekarang menjalari rongga dadanya.

*****
Hal terakhir yang diingat Hoek adalah saat menyerahkan hasil cetak foto kejadian mengerikan itu kepada polisi. Memory kamera dan CD softcopy hasil  fotonya telah disimpannya di suatu tempat yang sangat aman, mungkin hanya Hoek dan Yang Maha Sempurna yang tahu tempat itu. Selebihnya hanya gelap dan kabur.
Ingatannya yang menerawang seolah kembali masuk ke dalam tubuh pria kurus tak terawat yang terpenjara dalam ruangan gelap itu. Pria ini menyadari bahwa segalanya tidak berjalan sesuai dengan yang dia harapkan. Dia tahu bahwa dirinya telah berbuat benar. Dia tidak menyesal, mulutnya tetap terkatup rapat, seandainya masih punya tenaga mungkin tulang rahangnya sedang bergemeretak sekarang. Sepertinya tidak akan mudah lolos dari tempat ini, raungan dan makian yang selalu bertanya kepadanya tiap malam akan terus ada. Setiap pukulan dan tendangan yang diterimanya melewati malam menghancurkan tubuhnya, tetapi terbukti malah membuat tekadnya semakin kuat menutup mulutnya rapat-rapat. Kadang-kadang begitu sakit rasa yang menghujam tubuhnya sampai tak bisa lagi dirasakannya. Badannya yang semakin ringkih tampak tua terasa sangat letih dalam kebungkamannya. Lamunannya tiba-tiba buyar oleh bunyi derit pintu besi yang terbuka di depannya, sesosok tubuh tinggi besar yang masuk seperti biasanya menggenggam tongkat hitam seolah terbang melayang mendekatinya. Matanya yang berkilau tajam memandang sesosok tubuh lemah yang tak berdaya itu dengan liar. Pria kurus dengan pandangan teduh itu hanya menghela napas panjang sambil berdoa tarikan napas itu bukanlah yang terakhir. Kepalanya hanya tertunduk dan berharap malam ini akan segera terlewati.(*)

Bintaro, 20 Januari 2011 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar