Selasa, 31 Januari 2017

Ramayana dari Sudut Pandang Hanoman



Sudah lama sekali rasanya sejak pertama kali diperkenalkan tentang cerita wayang oleh bapak dengan seringnya kami dibelikan “komik wayang” karya besar R.A. Kosasih. Baru kemarin saya menyelesaikan membaca novel Hanoman karya Pitoyo Amrih. Bukunya sudah dibeli oleh kakak saya sejak tahun 2014, namun tampaknya di tahun 2017 ini kami baru berjodoh. Sebenarnya sejak dari kecil, entah dari kakek, bapak, paman maupun kakak secara langsung maupun tidak langsung telah menanamkan tentang betapa menariknya cerita tentang para tokoh-tokoh dalam dunia wayang yang jumlahnya sangat banyak. Satu tokoh bahkan memiliki cerita yang bisa jadi panjang dan tentunya memiliki keterkaitan dengan tokoh wayang lainnya.

Hanoman, tokoh yang sangat unik dan melegenda. Ternyata banyak cerita tentang beliau yang belum saya tahu setelah menyelesaikan novel Hanoman-nya Pitoyo Amrih. Bagi saya novel ini sungguh menarik, sesuai dengan judulnya, novel ini memberi sudut pandang yang berbeda tentang kisah Ramayana yang sudah sering kita baca, dengar atau mungkin tonton. Dalam novel ini, sesuai dengan judulnya, Hanoman menjadi “tokoh utama” sehingga rentang waktunya bertambah lebar. Tidak hanya saat dimulainya jaman Sri Rama, namun jauh sebelum itu, diperpanjang sampai dengan jaman Bharata Yudha bahkan jauh setelah jaman itu. Hanoman memang diceritakan memiliki umur yang sangat panjang.
Awal buku banyak menceritakan tentang kelahiran dan semua hal terkait asal usul kesaktian, masa kecil, masa berlatih Hanoman, sesuatu yang mungkin tidak terlalu dibahas bila kita membaca kisah Ramayana “konvensional” yang tentunya lebih banyak bercerita dari sudut pandang Sri Rama sendiri. Hal inilah yang membuat novel ini menjadi menarik. Kita seperti diajak menyelami pemikiran, keingintahuan, kebingungan, dan perasaan Hanoman yang kadang tidak terduga, termasuk beberapa pemikirannya terhadap Sri Rama, Dasamuka (Rahwana) serta tokoh-tokoh dalam Ramayana bahkan dalam Mahabharata.
Satu  pesan moral yang sepertinya berulang-ulang ingin disampaikan oleh penulis adalah tentang perang itu sendiri. Digambarkan dengan baik dalam kegundahan Hanoman  ketika penyerbuan ke Alengka berhasil dimenangkan oleh Sri Rama. Saat sebelum perang terjadi, Hanoman berpikir semua permasalahan akan selesai setelah perang dimenangkan dan Dewi Sinta berhasil kembali ke Ayodya, ternyata setelah perang usai pun masih ada permasalahan lain yang bahkan membuat Hanoman mengalami pertentangan batin termasuk dalam pengabdiannya pada Sri Rama. Perang tidak hanya tentang kebaikan melawan kejahatan, tapi ada berbagai kepentingan di sana, yang dalam novel ini diceritakan pada titik tertentu Hanoman sendiri merasa perang itu sendiri perlu dihindari.
Salut untuk Pak Pitoyo Amrih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar