Sudah lama sekali rasanya sejak pertama kali diperkenalkan
tentang cerita wayang oleh bapak dengan seringnya kami dibelikan “komik wayang”
karya besar R.A. Kosasih. Baru kemarin saya menyelesaikan membaca novel Hanoman
karya Pitoyo Amrih. Bukunya sudah dibeli oleh kakak saya sejak tahun 2014,
namun tampaknya di tahun 2017 ini kami baru berjodoh. Sebenarnya sejak dari
kecil, entah dari kakek, bapak, paman maupun kakak secara langsung maupun tidak
langsung telah menanamkan tentang betapa menariknya cerita tentang para
tokoh-tokoh dalam dunia wayang yang jumlahnya sangat banyak. Satu tokoh bahkan
memiliki cerita yang bisa jadi panjang dan tentunya memiliki keterkaitan dengan
tokoh wayang lainnya.
Hanoman, tokoh yang sangat unik dan melegenda. Ternyata
banyak cerita tentang beliau yang belum saya tahu setelah menyelesaikan novel
Hanoman-nya Pitoyo Amrih. Bagi saya novel ini sungguh menarik, sesuai dengan
judulnya, novel ini memberi sudut pandang yang berbeda tentang
kisah Ramayana yang sudah sering kita baca, dengar atau mungkin tonton. Dalam novel
ini, sesuai dengan judulnya, Hanoman menjadi “tokoh utama” sehingga rentang
waktunya bertambah lebar. Tidak hanya saat dimulainya jaman Sri Rama, namun
jauh sebelum itu, diperpanjang sampai dengan jaman Bharata Yudha bahkan jauh
setelah jaman itu. Hanoman memang diceritakan memiliki umur yang sangat
panjang.
Awal buku banyak menceritakan tentang kelahiran dan semua
hal terkait asal usul kesaktian, masa kecil, masa berlatih Hanoman, sesuatu
yang mungkin tidak terlalu dibahas bila kita membaca kisah Ramayana “konvensional”
yang tentunya lebih banyak bercerita dari sudut pandang Sri Rama sendiri. Hal inilah
yang membuat novel ini menjadi menarik. Kita seperti diajak menyelami
pemikiran, keingintahuan, kebingungan, dan perasaan Hanoman yang kadang tidak
terduga, termasuk beberapa pemikirannya terhadap Sri Rama, Dasamuka (Rahwana)
serta tokoh-tokoh dalam Ramayana bahkan dalam Mahabharata.
Satu pesan moral yang
sepertinya berulang-ulang ingin disampaikan oleh penulis adalah tentang perang
itu sendiri. Digambarkan dengan baik dalam kegundahan Hanoman ketika penyerbuan ke Alengka berhasil
dimenangkan oleh Sri Rama. Saat sebelum perang terjadi, Hanoman berpikir semua
permasalahan akan selesai setelah perang dimenangkan dan Dewi Sinta berhasil
kembali ke Ayodya, ternyata setelah perang usai pun masih ada permasalahan lain
yang bahkan membuat Hanoman mengalami pertentangan batin termasuk dalam
pengabdiannya pada Sri Rama. Perang tidak hanya tentang kebaikan melawan
kejahatan, tapi ada berbagai kepentingan di sana, yang dalam novel ini
diceritakan pada titik tertentu Hanoman sendiri merasa perang itu sendiri perlu
dihindari.
Salut untuk Pak Pitoyo Amrih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar