Kamis, 23 Agustus 2012

Twitter?!

Twitter, sebuah fenomena, sebuah pembatasan yang juga bisa menjadi keleluasaan. 140 karakter yang terlalu sedikit atau malah terlalu banyak untuk menyampaikan, menanyakan, menyatakan, curhat, menginformasikan, memanggil, me-mention, menghujat, mengingatkan, mempromosikan, dsb sesuatu kepada pihak lain, follower, atau malah tidak ditujukan untuk siapa pun. Pendeknya 140 karakter bisa disiasati dengan mem-posting link yang terhubung ke tulisan yang lebih panjang atau bila 140 karakter terlalu banyak kita bisa benar-benar berkicau dengan 4 huruf saja atau kurang  semacam sigh yang menandakan kegetiran penuh misteri :) Seperti lambangnya yang mengambil simbol seekor burung, kicauan burung kadang tidak dipedulikan, kadang dianggap biasa saja, dan terkadang pula dianggap sangat luar biasa oleh pendengarnya (follower-nya). Beberapa user mengganggap tingkat kepuasan dalam menggunakan twitter bisa diukur dari seberapa banyak jumlah follower, seberapa banyak yang me-replay, me-retweet, meng-quote atau mungkin seberapa besar pengaruh yang bisa diberikan kepada user yang lain dengan tolok ukur sesuatu yang disebut trending topics.

Belakangan ini, twitter bagi saya merupakan semacam kilasan pemikiran tiap-tiap user yang saya follow, tentunya yang saya follow dengan tujuan yang berbeda-beda. Ada yang saya follow karena sangat informatif, teman, buzzer, inspiratif, lucu, dan harus diakui kadang-kadang saya juga membutuhkan sesuatu yang saya sebut junk-info yaitu suatu info yang saya persamakan dengan junk-food, rasanya sangat enak namun nilai gizinya masih dipertanyakan bahkan kalau over bisa memberi pengaruh yang negatif. Info-info remeh temeh seperti naik apa seorang artis pergi mudik kadang perlu untuk menjadi selingan informasi yang sangat bergizi seperti keberhasilan para ilmuwan mengidentifikasi partikel Tuhan (High Bosson) (maaf kalau salah ketik) yang menghebohkan dunia persilatan itu. Sedikit tambahan untuk partikel Tuhan ini, saya lebih condong menggunakan kata "mengidentifikasi" daripada "menemukan" karena dalam opini saya (IMHO) partikel ini sebenarnya sudah ada dari dulu, cuma kita manusia dengan segala keterbatasannya baru dapat membuktikan keberadaannya melalui berbagi percobaan dan penelitian yang membutuhkan kerja keras, waktu, dan biaya yang tidak sedikit. Bagi saya, twitter juga kadang bisa menjadi katalis bagi user-nya, bagaimana saya menjadi begitu tergugah untuk menulis tentang sepak bola begitu membaca kicauan salah satu akun yang ulasan sepak bolanya bagi saya bagitu WOW, bagaimana saya serasa menjadi begitu bijak dan kadang seperti tersadar membaca kicauan akun yang lain melalui quote andalannya. Begitu terhibur, kadang geram, kadang sedih, kadang menjadi ingin tahu, kadang menjadi malah tak mau tahu. Apa kira-kira yang membuat hal ini bisa terjadi pada para pecandu twitter? 

Tulisan? Bukankah tulisan tidak hanya ada di twitter, tulisan yang memberikan informasi bisa kita dapatkan di mana saja, melalui koran, surat, buku, dan media informasi lainnya. 

Faktor 140 karakterkah? Keterbatasan membuat kreativitas meningkat? Begitu dibatasi, manusia umumnya secara naluriah akan berusaha mensiasati keterbatasan itu, keterbatasan jumlah huruf/karakter disiasati dengan menulis sesuatu yang benar-benar ingin disampaikan dalam 140 karakter menjadi semenarik dan sepadat mungkin, jaman yang serba praktis mungkin begitu sibuknya sehingga membaca sesuatu yang pendek namun benar-benar 'berisi' terasa sangat mengasyikkan.

Faktor bahwa setiap hal yang di-posting bisa dibaca oleh siapa saja? Diary, mungkin hanya kita saja yang tahu seperti agenda maupun catatan atas kegiatan harian, namun apa rasanya ketika setiap hal yang kita tulis atau sampaikan bisa dibaca oleh siapa saja di seluruh penjuru dunia yang telah dirangkul oleh internet? Menegangkan bukan? Hal ini kadang membuat orang sangat berhati-hati dalam menulis atau malah membuat orang menjadi exhibitionist yang dengan tanpa rasa canggung menulis apa pun yang dirasakan, dilakukan, didengar, dilihat, dimakan, diminum, atau dipikirkan tanpa mencerna baik-baik apa yang akan ditulis tidak hanya untuk para follower-nya tapi kepada siapa saja yang mungkin membaca.

Yah mungkin masih banyak faktor-faktor lain yang menjadi pertimbangan pengguna twitter untuk setia meng-update kicauannya, namun apa pun itu, mengutip sebuah bingkai kata-kata di tembok kelas saya waktu SMP dulu "Words are sharper than Swords", bagi saya penggunaan twitter untuk kepentingan apapun harus tetap bertanggungjawab sehingga tidak menjadi penyesalan di kemudian hari. Kata-kata (tweet-tweet) yang telah terucap (ter-posting) mungkin masih bisa ditarik (di-delete) namun akan selalu membekas bagi yang mendengarnya (membacanya) seperti paku-paku yang tertancap pada sebatang kayu, bisa kita cabut namun bekas tancapannya akan tetap ada pada kayu itu.

Lets's tweet again
#kantormasihsepi
#suasanalebaran





Rabu, 22 Agustus 2012

Pecel Perak

Semenjak bertugas di Perak, ada satu pedagang nasi pecel yang berjualan di seputaran Tanjung Perak yang menjadi langganan saya. Kira-kira berlangganan aktif semenjak periode 2008-2010, kemudian akhirnya terhenti setelah dipanggil lagi mengikuti pendidikan di Jakarta pada awal 2010. Ibu penjual pecel itu menjual nasi pecelnya yang digelar di atas meja, jadi tempat berjualannya tidaklah permanen. Buka mulai sekitar jam 6 pagi dan biasanya sudah habis gak sampe dalam waktu 2 jam setelahnya. Nasi pecel beliau ini menjadi sarapan wajib saya hampir tiap harinya dulu pada waktu masih bujang. Walaupun sederhana, tapi nasi pecelnya mantap sekali, serius?!. Harganya berkisar antara 5rb-7rb (tergantung pilihan lauknya). Ada sambalan gitu, pake terong rasanya maknyus abis, tempenya crunchy, telur dadarnya smooth, bumbu pecelnya pas tidak kemanisan ataupun keenceran, pokoknya mantap jaya.

Saking seringnya beli sarapan di sana, ibu penjual pecel sampai hapal wajah saya, walaupun tidak mengenal nama saya. Seringkali mendapat fasilitas khusus, entah kenapa ibu penjual itu selalu mendahulukan saya, seramai apapun, begitu lihat saya mau membeli, seperti sudah otomatis langsung membungkuskan satu porsi nasi pecel untuk saya padahal masih banyak pelanggan lain yang antri. Ibu itu selalu berpikir kalau saya tidak didahulukan nanti saya bisa terlambat masuk kantor (baik banget kan...), dan dia selalu ngomong ke pelanggan lain yang antri ketika mendahulukan saya "Mas ini (saya) akan berangkat ke kantor, jadi saya dahulukan ya biar dia gak telat ke kantor..". Sebenarnya gak enak hati juga dengan pelangggan yang lain, tapi  mau nolak juga gimana karena saya sudah punya standar menu yang dipesan, jadi ya pesanan itu sudah disesuaikan dengan kebutuhan saya yang kalaupun ditawarkan pada pelanggan yang lain biasanya minta ditambah apa gitu, tambah tempe, tambah sambel atau kerupuk. Pokoknya seleranya beda-bedalah tiap pelanggan.

Tak terasa mungkin sudah hampir 3 tahun tidak belanja sarapan pecel di ibu pecel perak itu lagi. Tapi tadi pagi tiba-tiba teringat betapa mantabnya sarapan pake nasi pecel itu, akhirnya sengaja gak sarapan di rumah untuk sekedar mengobati kerinduan nikmatnya nasi pecel perak itu. Dari kejauhan saya lihat ternyata pelanggannya sudah ramai, wah semoga saja belum kehabisan. Motor saya parkir sekenanya dengan masih memakai helm dan masker yang menutupi mulut saya lanngsung turun dan ikut mengantre (ramai banget!! posisi wajah masih tertutup masker dan memakai helm). Si ibu penjual pecel cuma sempat melirik saya sebentar, saya sieh diem saja, yakin dia gak bakal mengenali saya, eh tiba-tiba dia gak lama langsung buatin satu porsi yang ternyata disiapkan untuk saya. Padahal baru ngomong "Bungkus satu, bu." dan masih ada pelanggan lain yang sepertinya sudah antri sejak tadi. Waduh, jadi gak enak juga nieh, gak jadi deh buka helm dan masker, tapi ibu penjual pecel kok kayanya tahu kalau saya nieh (pelanggan lama yang setia) yang mesen. Paling gak udah lewat 3 tahun padahal saya tidak sarapan nasi pecel buatan beliau lagi.

Amazing... Ibu-ibu penjual pecel ini punya kemampuan cenayang mungkin :)



Senin, 20 Agustus 2012

Pelajaran Bahasa Indonesia

Dulu waktu jaman masi SD kalo pas musim-musim ulangan umum, ada satu mata pelajaran yang menurut saya ajaib, yaitu Bahasa Indonesia. Yupz, sebentar lagi akan saya coba jelaskan kenapa anak ingusan (ingus yang sebenarnya)--> 'saya waktu itu' bisa berpikiran seperti itu.
Sejujurnya dalam pikiran saya waktu itu, keadaan yang saya alami itu seperti ini (saking naifnya) : bahwa sebenarnya kita semua itu sudah bisa berbahasa Indonesia sejak lahir, buktinya waktu TK kita tidak diajari bahasa Indonesia, tapi waktu Bu Gurunya nanya "Anak-anak sudah makan semua?" Semua serempak bisa menjawab dengan sempurna dalam Bahasa Indonesia "Sudah Bu Guru!!!" (Masih belum sadar kalo menerima pembelajaran bahasa Indonesia secara lisan).
Begitu masuk SD, keadaan menjadi agak berbeda. Ketika kegiatan menjadi lebih serius dengan diperkenalkannya buku garis tiga dan kita diajarkan cara menulis halus. Waktu itu, pelajaran bahasa Indonesia adalah pelajaran untuk berlatih menyalin huruf per huruf, tulisan per tulisan, kata per kata sesuai dengan contoh yang diberikan oleh Ibu Guru. Jangankan satu paragraf, beberapa kata aja mungkin butuh waktu sama dengan setengah episode Ksatria Baja Hitam. Lama boz. Ketika saya sudah agak menguasai untuk menulis kata-kata, naik ke kelas 2 apa 3 itu saya kurang ingat levelnya dinaikkan. The next level, kita tidak hanya menyalin, tapi ditantang untuk menulis apa yang kita pikirkan. Saat itulah ketemu pas ulangan umum yang namanya mengarang, membuat suatu karangan cerita yang kadang-kadang judulnya sudah ditentukan atau minimal temanya yang sudah ditentukan. Wah, ini bagi saya pekerjaan berat, bayangkan di hari sebelum ulangan umum bahasa Indonesia, saya mengira-ngira judul apa yang harus saya tulis besok saat ujian mengarang. Biasanya juga, ujian mengarang didahului dengan menjawab soal-soal teori, jadi kadang kebawa tuh pas kerjakan soal teori kepikiran mau nulis apa pas mengarang :D
Dan lucunya lagi, pada mengerjakan karangan itu, sebagian besar (baca semua-red) anak di kelas kami berpikir, bahwa nilai dari mengarang itu ditentukan oleh banyak atau sedikitnya kalimat yang tersusun dalam paragraf yang dihasilkan. Jadilah waktu itu kompetisi menulis dalam lembar terbanyak :) ya dikit-dikit liat dari kejauhan teman-teman yang nulisnya uda 2 lembar halaman polio uda bikin keder juga.
Ketika naik tingkat lagi, saya diperkenalkan lagi dengan berbagai macam bentuk pengetahuan baru dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Puisi, prosa, gaya bahasa, kata majemuk, membuat kalimat, lawan kata, sinonim, antonim, dll, dsb, dst.... Pelajaran Bahasa Indonesia makin menjadi sesuatu yang tak pasti. Ketika ulangan umum soalnya muncul dalam pilihan ganda, umumnya saya memilih jawaban yang paling panjang :D
Kadang-kadang jawabannya seperti tidak pasti, tapi kadang juga dibutuhkan jawaban yang pasti layaknya Aljabar. Belum lagi saat ujian gitu kita dikasi paragraf panjang, trus dikasi pertanyaan yang jawabannya ada dalam paragraf tersebut, menentukan majas, menentukan antonim atau sinonim, singkatan, membahas sajak yang digunakan pantun atau syair dan masih banyak lagi. Saat itu pelajaran bahasa Indonesia cukup aneh bagi saya.
***
Saat menulis tulisan ini, saya sadari saya masih sangat tergantung pada pelajaran Bahasa Indonesia. Ternyata memang sampai kapan pun kita tak akan bisa lepas dari pelajaran ini, pemahaman saya pun terhadap Bahasa Indonesia masih sangat kurang. Elemen penting dalam memahami semua pelajaran yang kita tempuh sebenarnya juga sangat ditentukan kemampuan kita dalam Berbahasa Indonesia. Ingin mendalami Ilmu Pasti sudah pasti harus bisa Bahasa Indonesia, minimal baca lah, kan literaturnya ditulis dalam bahasa Indonesia (kecuali uda jago bahasa asing), khusus untuk di Indonesia, sebagian besar ilmu-ilmu lain selain bahasa Indonesia juga disampaikan dalam bahasa Indonesia kan. Bayangkan saja kalau kita tidak mengerti tentang hal yang mendasar semacam menentukan kalimat utama, tentunya susah juga memahami (mengambil inti) dalam sebuah paragraf/tulisan yang membahas disiplin ilmu lain. Kalau tidak menangkap intinya tentunya proses pemahaman akan menjadi lebih lambat.
Kebutuhan akan bahasa Indonesia juga semakin mengikat ketika masuk ke dunia kerja baik secara lisan maupun tulisan. Bagi para pegawai yang memiliki atasan, tentu terselamatkan oleh Bahasa Indonesia yang mengajarkan mereka bagaimana seharusnya pilihan kata yang harus digunakan saat berkomunikasi lisan dengan atasan, rekan sejawat, maupun bawahan. Yang gak tahu bahasa Indonesia akan keliatan aneh sendiri nyapa boznya di kantor "Wasssup bro. You've got SWAG"...:D. Yang tidak kenal majas akan lempeng-lempeng aja ketika disindir dengan majas sarkasme dalam lisan kawan-kawannya (cieh nyebut sarkasme... ) Secara tulisan pun lebih vital, saat berkomunikasi secara tulisan dengan relasi/entitas lain, tentunya akan menjadi hal yang ganjil bila untuk persuratan saja masih kacau balau. Saya sudah mengalami sendiri realitanya, kadang untuk membuat sebuah konsep surat yang 'bisa memuaskan' hasrat atasan perlu menggali lagi ingatan-ingatan lampau saat belajar bahasa Indonesia di SD-Kuliah. Memikirkan sesuatu dalam benak kita sendiri tentu akan mudah kita pahami sendiri, tapi menuangkan hal yang kita pikirkan baik secara lisan maupun tulisan kepada orang lain dengan tujuan agar bisa disampaikan apa yang kita pikirkan itu?! Kita memerlukan keajaiban bahasa (Indonesia).



Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone







Jumat, 17 Agustus 2012

Pak Tua

Tubuhnya renta, rambut kusut putih tak terawat, tangannya menggenggam tapi was-was.
.....Istri? Apa itu sebutan untuk wanita muda dalam balutan gaun sexy itu?
Anak? Ah, itu pun tak terpikirkan
Cucu? Ya itu adalah anak dari anakku....
Entah kenapa, punggungnya terasa berat, hingga berjalan harus menunduk, tatapannya hampir lurus ke tanah tempat berpijak. Kakinya bergetar hebat tiap melangkah, pandangannya kabur menyiratkan ketidakyakinan dan kegelisahan. Setiap mencoba bersuara hanya lenguhan serak basah yang terdengar, tak setiap orang bisa mengerti apa yang coba dikatakannya. Jangan pandangi wajahnya, wajah penuh penyesalan itu membuat siapa pun yang memandangnya menjadi putus asa. Orang-orang yang mendatanginya lebih memilih untuk memandang ke arah lain, pura-pura batuk, merasa tak nyaman dan cenderung ingin segera menyelesaikan urusannya dengan pak tua ringkih itu.
Pak tua tempat tinggalnya tidak tentu, kadang di sudut pasar pagi di seputaran terminal, kadang di dekat lampu merah perempatan besar alun-alun kota. Siang yang panas ini, pak tua hanya duduk termangu di dekat warung Bu Inah. Wajahnya cukup meyakinkan, cukup yakin kalau dulu pak tua punya sebuah rumah idaman.
Di tengah jalannya kadang ia tertidur, ling lung sambil berusaha mengingat sedang berada di mana dirinya. Dia masih beruntung masi ingat siapa dirinya dulu. Serasa dulu sekali... Sekitar 40 tahun yang lalu. Ya, 40 tahun yang lalu.
***
Badan tegap, kulit legam, kencang, berbahu kokoh. Langkahnya mantap, berkumis tebal dengan sorot mata tajam. Kadang senyum angkuh tersungging dari mulutnya yang menghitam terbakar racikan tembakau. Dia ingat benar, sebilah pisau Swiss asli selalu terselip di lipatan celana jeans birunya. Belum lagi sepucuk pistol yang dengan rapi terselip di balik jaket kulit hitamnya yang angker.
Kota kecil itu ada dalam genggamannya, namanya hampir tak dikenal tapi sosoknya telah membuat banyak orang trauma. Ketika sekedar kumpul untuk minum menghangatkan badan bersama teman-temannya dia selalu berkelakar "Semua sudah kukalahkan. Tinggal menunggu kematian biar kuhadapi setangguh apa dia..." di selingi tawa yang membahana di bar yang kelam itu.
***
Dia ingat benar itu. Dan sampai sekarang paktua itu masih menunggu.. Orang-orang yang lalu lalang hanya penasaran, apa gerangan yang ditunggu-tunggu oleh pak tua itu.


Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone