Kembali teringat antara 19-20 tahun yang lalu, saat aku masih
kecil. Ibu selalu bercerita sebelum aku terlarut dalam tidur di pelukannya.
Beberapa cerita dari beliau masih terpatri sampai sekarang dalam ingatanku. Kebanyakan tentang cerita tradisional di Bali, dan saat itu aku selalu merajuk
untuk selalu diceritakan kisah-kisah sebelum tidur itu walaupun cerita yang
sama selalu diulang-ulang oleh Beliau. Sekarang, setelah aku ingat-ingat
kembali, ternyata cerita-cerita tradisional Bali memiliki sisi keunikan
tersendiri baik dari segi penokohan, alur, maupun gaya berceritanya terutama
dalam cerita-cerita pengantar tidur saat aku masih kecil dulu. Kebanyakan
cerita-cerita tersebut berupa fabel yang tokoh utamanya adalah binatang seperti
: I Lutung (kera), I Kekua (kura-kura), Siap Selem (ayam hitam), Ketam
(kepiting sungai), Macan, ataupun Meng Kuwuk (kucing). Namun tidak semua tokoh
cerita dalam cerita tradisional Bali adalah binatang seperti salah satu tokoh
cerita yang namanya sangat melegenda di Bali, Pan Balang Tamak. Berikut ini akan aku coba ceritakan
kembali cerita yang biasa didongengkan oleh ibu sebagai pengantar tidur saat
kecil dulu (mungkin berbeda versi cerita di tiap tempat, tapi versi inilah yang
kudengar dari ibuku) :
I Lutung dan Kekua
Pada suatu saat di sebuah
hutan, I Lutung hanya termenung sendiri di atas pohon yang tampaknya sudah
tidak berbuah lagi. Dia tampak bingung sendiri, entah musim apa saat itu yang
telah membuat pohon-pohon buah yang menjadi sumber makanannya di hutan itu
selama ini banyak yang tidak berbuah. Pohon yang dia naiki sekarang mungkin
adalah pohon yang terakhir yang berbuah, karena dia sudah berkeliling sejak
pagi untuk mencari pohon-pohon lain yang masih berbuah tetapi hasilnya nihil.
Pohon itu terletak tepat di pinggir sungai, dari atas pohon itu, si Lutung
dapat melihat di seberang sungai sana ada perkebunan milik Pak Tani yang pohon
pisangnya sedang berbuah ranum. Bukan sekali ini Si Lutung menyadari ada
makanan favoritnya di sana, cuma dia masih bingung mencari cara untuk sampai di
seberang sungai itu. Air adalah sesuatu yang sangat Lutung hindari, sungguh
serasa mustahil baginya untuk berenang menyeberangi sungai itu menuju
pisang-pisang ranum Pak Tani.
“Ahuuukk.. ahukk.. gluk
gluk..” seperti suara air tertelan. Lutung waspada mencoba menajamkan
mata-matanya kalau kalau suara itu berasal dari seekor buaya si pemakan segala.
Dia segera menjauhkan dirinya dari air, bergerak ke tengah dahan pohon yang
agak besar. Tak lama air sungai bergolak sebentar dan muncullah seekor Kekua.
Wajah Lutung tampak sumringah, dia malah bergerak mendekati air ke ujung dahan
pohon.
“Krrueekkk.. halo.. kuuk
kuuk kuuk...”, Lutung mencoba menyapa Kekua
Selagi kepala Kekua
muncul, suaranya yang serak kembali terdengar, “Ahuukk ahukk gluk gluk... err..
ada Lutung. Err.. ada apa gerangan, ahuk?”
Ada kilauan kecil di mata Lutung, seperti telah menemukan
pemecahan masalahnya.
“Kuuuk kuuk, errr, hei Kekua, err, kulihat sekarang ini
sungai ini tidak melimpah seperti dulu. Krueek.. aku punya tawaran untukmu...
kikikikik,” Lutung tertawa kecil saking senangnya.
“Ahukk... tidak ada masalah dengan sungai. Gluk gluk...
selalu ada yang bisa kumakan, inilah rumahku..”
“Kikkikikiki, jangan cepat berpuas diri, wahai Kekua,
kawanku.”
Lutung melompat-lompat kecil di atas dahan sampai
menggugurkan daun-daunnya yang mulai kering.
“Krueekk, kau lihat di seberang sungai sana ada kebun Pak
Tanj, kau tidak lihat pisang-pisangnya sudah menguning ranum untuk dimakan.
Kiiikkkk...!!”
“Mari, mari, bantu aku menyeberang ke sana. Kan kupetikkan
pisang untuk kita berdua. Kikikikik, pekerjaan mudah, kau cukup memberi
tumpangan padaku ke sana. Nanti aku lemparkan pisangnya untukmu. Enak, enak!!
Terima beres!! Kruek kruek.. “, Lutung sangat bersemangat.
Kekua hanya mangut-mangut
dan terdiam. Seperti banyak sekali hal perlu dia pertimbangkan.
“Gluk gluk, baiklah,” Kekua
menyahut dengan singkat.
Tak butuh lama bagi Lutung untuk
melompat dari dahan pohon langsung ke atas tempurung Kekua.
“Hup, kikikik”
Lutung mendarat sempurna di atas
tempurung Kekua. Kekua mungkin lambat di darat, tapi ketika sedang berenang di
air, kecepatannya membuat Lutung kagum.
“Kikikikik, beruntung aku
berjumpa denganmu hari ini,” Lutung berkata kepada Kekua.
“Aku juga ingin merasakan
ranumnya pisang-pisang itu, Tung, gluk gluk,” Kekua sempat mengangkat kepalanya
sebentar sebelum kemudian masuk lagi ke dalam air. Langsung menuju ke arah kebun Pak Tani. Arus yang cukup deras
sepertinya membuat Kekua cukup mengerahkan tenaganya untuk menyeberangi sungai
itu.
“Grap”, Kekua menggigit cabang
pohon menggantung yang menjorok di atas sungai. Cabang pohon itu digigitnya
dengan keras untuk menaikkan tubuhnya ke atas tanah di bawah rerumputan liar
persis di bawah daerah kebun Pak Tani. Dan akhirnya kedua binatang itu berhasil
menapaki tanah di seberang sungai.
“Kakakakak, krueek, krueek,
bagus-bagus,” Lutung bersalto ringan dari tempurung. Langsung melesat ke arah
pagar tanaman kebun pak Tani dan memanjatnya sebentar. Celingak-celinguk di atasnya
untuk kemudian turun lagi menemui Kekua.
“Kikiki, kawanku Kekua. Tunggulah
barang sebentar di dekat pagar tanaman ini. Biar aku masuk ke kebun itu dulu
memastikan situasinya aman. Nanti akan aku lemparkan pisangnya untukmu dari
dalam, kakakakak.”
“Baiklah, kawan, gluk gluk,”
Kekua bersuara sambil mengeluarkan air dalam mulutnya akibat berenang
menyeberangi arus sungai yang cukup deras tadi.
Lutung berlari kecil kemudian
melompat memanjat pagar tanaman pak Tani. Celingak celinguk sebentar melihat
situasi di balik pagar. Lutung terpana sebentar. Di kebun itu seperti surga
para Lutung, semua pohon pisangnya berbuah ranum, jauh lebih banyak daripada
yang dilihatnya dari seberang sungai.
“Kikikikik,” tawa Lutung dalam
hati. Supaya tidak membuat suara-suara tak perlu.
Lutung memanjat satu pohon pisang
yang tidak terlalu tinggai, dicomotnya satu buah pisang kuning yang berukuran
besar. Belum pernah dia melihat pisang sebesar itu di hutan sebelah.
Rasanya pun tidak bisa
digambarkan oleh Lutung. Manis dan lembut, Lutung sungguh girang hatinya. Dua,
tiga, empat, sampai tidak dapat dia hitung lagi pisang-pisang itu memenuhi
rongga perutnya. Nikmat sekali.
Sementara Kekua merasa cemas
menunggu di luar pagar tanaman di pinggir sungai. Sejak tadi dia sudah berusaha
memanggil Lutung, mungkin masih belum terdengar olehnya.
“Tung… Lutung..! Gluk gluk.”
Suaranya masih serak basah.
Sesekali digoyangkannya rumpun
tanaman berharap semoga Lutung melihatnya dan segera membawakan pisang yang
dijanjikannya.
Perut si Lutung penuh, sampai
susah bergerak. Saat ini dia terduduk menyembunyikan dirinya di rumpun pohon
pisang. “Kakakakakak..kikikikik.. enak sekali.”
Lutung teringat akan kawan
seperjuangannya, Kekua yang menunggunya di balik rumput tanaman dekat sungai.
“Dasar bodoh, kikikik, buat apa
aku membawakan pisang untuknya,” desis Lutung dalam hati. Baginya Kekua
hanyalah hewan bodoh yang hanya menunggu waktu untuk ditipu oleh hewan lain
yang lebih pintar. Kebetulan saja dia bertemu dengan Lutung yang legendaris
ini.
Tapi Lutung tidak akan membuat
kedatangan kawannya itu menjadi sia-sia. Dipungut dan dikumpulkannya
kulit-kulit pisang yang bergeletakan di rumput dan semak belukar di sekitar
sana, semampu kedua genggamannya. Lutung mengendap-ngendap hampir merayap
mendekati posisi Kekua dibalik pagar tanaman yang meninggi tak beraturan.
“Kuuuuk, kikikik, hei kawanku
Kekua, kakakaka,” Lutung kali ini mendesis.
“Ini, tangkaplah,
kakakakakakakaka,” Lutung tidak dapat menahan tawanya. Dilemparnya kumpulan
kulit pisangnya itu melewati pagar tanaman ke arah Kekua.
Kekua sempat terkejut, dikalahkan
oleh girangnya yang cepat berubah lagi menjadi amarah. Mulutnya terasa kelu
ketika kulit-kulit pisang itu menghambur menutupi hampir seluruh tempurungnya
yang berlumut.
“Gluk, Gluk.. Hei kau Lutung tak
tahu diuntung!”
Kekua mencoba berteriak dengan
sisa-sisa bara amarah yang membakar seluruh tubuhnya. Tapi Kekua sadar, tidak
ada lagi yang bisa dia lakukan untuk memberi pelajaran kepada Lutung. Tidak
mungkin baginya untuk memanjat pagar tanaman yang tinggi itu, tanpa banyak
berkata lagi Kekua langsung menceburkan dirinya ke dalam air, berharap
dinginnya dapat membantu meredam panas hatinya.
Sementara di balik pagar Lutung
masih tertawa dengan gembira, sepertinya sudah tidak mampu lagi menahan rasa
girang bukan kepalang. Sekali lempar batu dua burung langsung kena, perutnya
kenyang dan berhasil membodohi si Kekua.
“Kikikikik, paling tidak si Kekua
sudah mencicipi kulit pisangnya, kaaak kaak kaak,”
Girangnya hati Lutung membuatnya
kurang waspada. Dia tidak menyadari dari arah pondok reyot jauh di dalam kebun
pisang itu telah keluar sesosok hitam bertopi jerami. Dialah pak Tani, yang
sedang penasaran pada suara ribut dari arah kebun pisangnya. Pelan-pelan pak
Tani menyusuri rumput dan semak belukar sambil mengira-ngira arah datangnya
suara ribut itu. Sesekali dilihatnya kulit-kulit pisang ranumnya yang banyak
bertebaran dan hal itu membuatnya geram. Muka pak Tani bertambah merah padam
saat mengintip dari rumpun pisang yang cukup lebat, tampak seekor Lutung yang
tampak kekenyangan sedang berteriak-teriak tidak jelas sambil bermalas-malasan
berbaring di rerumputan ujung dekat pagar yang berbatasan dengan sungai. Pak
Tani bergegas kembali ke pondoknya, dia sepertinya sedang mengambil sesuatu.
Lutung yang kekenyangan masih
berbaring di rerumputan, tubuhnya tambah letih setelah tertawa girang
sejadi-jadinya. Saat ini yang ada dalam pikirannya adalah mencari tempat untuk
memejamkan mata sejenak, tentunya sampai perutnya terasa lapar lagi. Lutung belum
berniat untuk meninggalkan kebun surga pisang ini. Sejurus Lutung hendak
bangkit dari rerumputan itu, tiba-tiba “JLEB”, seongok bambu yang berujung
runcing tajam menembus perutnya yang kembung.
“Dasar binatang tak tahu diri!”,
pak Tani menggeram sambil mendorong bambu runcingnya menembus perut Lutung yang
sudah berani mencuri pisang-pisangnya.
“Kaaak,uuggghh,” Lutung hanya
bisa berteriak, teriakan yang semakin lemah. Pandangannya mulai kabur dengan
rasa sakit di perutnya yang sudah tidak tertahankan lagi. Sejenak Lutung
teringat kembali dengan kawan baru yang sudah diperdayainya, Kekua. Tapi
sepertinya semuanya sudah terlambat.
Denpasar, Nopember 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar