Senin, 13 November 2017

CERITA SEBELUM TIDUR


Kembali teringat antara 19-20 tahun yang lalu, saat aku masih kecil. Ibu selalu bercerita sebelum aku terlarut dalam tidur di pelukannya. Beberapa cerita dari beliau masih terpatri sampai sekarang dalam ingatanku. Kebanyakan tentang cerita tradisional di Bali, dan saat itu aku selalu merajuk untuk selalu diceritakan kisah-kisah sebelum tidur itu walaupun cerita yang sama selalu diulang-ulang oleh Beliau. Sekarang, setelah aku ingat-ingat kembali, ternyata cerita-cerita tradisional Bali memiliki sisi keunikan tersendiri baik dari segi penokohan, alur, maupun gaya berceritanya terutama dalam cerita-cerita pengantar tidur saat aku masih kecil dulu. Kebanyakan cerita-cerita tersebut berupa fabel yang tokoh utamanya adalah binatang seperti : I Lutung (kera), I Kekua (kura-kura), Siap Selem (ayam hitam), Ketam (kepiting sungai), Macan, ataupun Meng Kuwuk (kucing). Namun tidak semua tokoh cerita dalam cerita tradisional Bali adalah binatang seperti salah satu tokoh cerita yang namanya sangat melegenda di Bali, Pan Balang Tamak. Berikut ini akan aku coba ceritakan kembali cerita yang biasa didongengkan oleh ibu sebagai pengantar tidur saat kecil dulu (mungkin berbeda versi cerita di tiap tempat, tapi versi inilah yang kudengar dari ibuku) :
I Lutung dan Kekua 
Pada suatu saat di sebuah hutan, I Lutung hanya termenung sendiri di atas pohon yang tampaknya sudah tidak berbuah lagi. Dia tampak bingung sendiri, entah musim apa saat itu yang telah membuat pohon-pohon buah yang menjadi sumber makanannya di hutan itu selama ini banyak yang tidak berbuah. Pohon yang dia naiki sekarang mungkin adalah pohon yang terakhir yang berbuah, karena dia sudah berkeliling sejak pagi untuk mencari pohon-pohon lain yang masih berbuah tetapi hasilnya nihil. Pohon itu terletak tepat di pinggir sungai, dari atas pohon itu, si Lutung dapat melihat di seberang sungai sana ada perkebunan milik Pak Tani yang pohon pisangnya sedang berbuah ranum. Bukan sekali ini Si Lutung menyadari ada makanan favoritnya di sana, cuma dia masih bingung mencari cara untuk sampai di seberang sungai itu. Air adalah sesuatu yang sangat Lutung hindari, sungguh serasa mustahil baginya untuk berenang menyeberangi sungai itu menuju pisang-pisang ranum   Pak Tani.
Belum selesai Lutung termangu tenggelam dalam lamunannya tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara serak basah dari dalam jernihnya air sungai.
“Ahuuukk.. ahukk.. gluk gluk..” seperti suara air tertelan. Lutung waspada mencoba menajamkan mata-matanya kalau kalau suara itu berasal dari seekor buaya si pemakan segala. Dia segera menjauhkan dirinya dari air, bergerak ke tengah dahan pohon yang agak besar. Tak lama air sungai bergolak sebentar dan muncullah seekor Kekua. Wajah Lutung tampak sumringah, dia malah bergerak mendekati air ke ujung dahan pohon.
“Krrueekkk.. halo.. kuuk kuuk kuuk...”, Lutung mencoba menyapa Kekua
Selagi kepala Kekua muncul, suaranya yang serak kembali terdengar, “Ahuukk ahukk gluk gluk... err.. ada Lutung. Err.. ada apa gerangan, ahuk?”
Ada kilauan kecil di mata Lutung, seperti telah menemukan pemecahan masalahnya.
“Kuuuk kuuk, errr, hei Kekua, err, kulihat sekarang ini sungai ini tidak melimpah seperti dulu. Krueek.. aku punya tawaran untukmu... kikikikik,” Lutung tertawa kecil saking senangnya.
“Ahukk... tidak ada masalah dengan sungai. Gluk gluk... selalu ada yang bisa kumakan, inilah rumahku..”
“Kikkikikiki, jangan cepat berpuas diri, wahai Kekua, kawanku.”
Lutung melompat-lompat kecil di atas dahan sampai menggugurkan daun-daunnya yang mulai kering. 
“Krueekk, kau lihat di seberang sungai sana ada kebun Pak Tanj, kau tidak lihat pisang-pisangnya sudah menguning ranum untuk dimakan. Kiiikkkk...!!”
“Mari, mari, bantu aku menyeberang ke sana. Kan kupetikkan pisang untuk kita berdua. Kikikikik, pekerjaan mudah, kau cukup memberi tumpangan padaku ke sana. Nanti aku lemparkan pisangnya untukmu. Enak, enak!! Terima beres!! Kruek kruek.. “, Lutung sangat bersemangat.
Kekua hanya mangut-mangut dan terdiam. Seperti banyak sekali hal perlu dia pertimbangkan.
“Gluk gluk, baiklah,” Kekua menyahut dengan singkat.
Tak butuh lama bagi Lutung untuk melompat dari dahan pohon langsung ke atas tempurung Kekua.
“Hup, kikikik”
Lutung mendarat sempurna di atas tempurung Kekua. Kekua mungkin lambat di darat, tapi ketika sedang berenang di air, kecepatannya membuat Lutung kagum.
“Kikikikik, beruntung aku berjumpa denganmu hari ini,” Lutung berkata kepada Kekua.
“Aku juga ingin merasakan ranumnya pisang-pisang itu, Tung, gluk gluk,” Kekua sempat mengangkat kepalanya sebentar sebelum kemudian masuk lagi ke dalam air. Langsung menuju ke  arah kebun Pak Tani. Arus yang cukup deras sepertinya membuat Kekua cukup mengerahkan tenaganya untuk menyeberangi sungai itu.
“Grap”, Kekua menggigit cabang pohon menggantung yang menjorok di atas sungai. Cabang pohon itu digigitnya dengan keras untuk menaikkan tubuhnya ke atas tanah di bawah rerumputan liar persis di bawah daerah kebun Pak Tani. Dan akhirnya kedua binatang itu berhasil menapaki tanah di seberang sungai.
“Kakakakak, krueek, krueek, bagus-bagus,” Lutung bersalto ringan dari tempurung. Langsung melesat ke arah pagar tanaman kebun pak Tani dan memanjatnya sebentar. Celingak-celinguk di atasnya untuk kemudian turun lagi menemui Kekua.
“Kikiki, kawanku Kekua. Tunggulah barang sebentar di dekat pagar tanaman ini. Biar aku masuk ke kebun itu dulu memastikan situasinya aman. Nanti akan aku lemparkan pisangnya untukmu dari dalam, kakakakak.”
“Baiklah, kawan, gluk gluk,” Kekua bersuara sambil mengeluarkan air dalam mulutnya akibat berenang menyeberangi arus sungai yang cukup deras tadi.
Lutung berlari kecil kemudian melompat memanjat pagar tanaman pak Tani. Celingak celinguk sebentar melihat situasi di balik pagar. Lutung terpana sebentar. Di kebun itu seperti surga para Lutung, semua pohon pisangnya berbuah ranum, jauh lebih banyak daripada yang dilihatnya dari seberang sungai.
“Kikikikik,” tawa Lutung dalam hati. Supaya tidak membuat suara-suara tak perlu.
Lutung memanjat satu pohon pisang yang tidak terlalu tinggai, dicomotnya satu buah pisang kuning yang berukuran besar. Belum pernah dia melihat pisang sebesar itu di hutan sebelah.
Rasanya pun tidak bisa digambarkan oleh Lutung. Manis dan lembut, Lutung sungguh girang hatinya. Dua, tiga, empat, sampai tidak dapat dia hitung lagi pisang-pisang itu memenuhi rongga perutnya. Nikmat sekali.
Sementara Kekua merasa cemas menunggu di luar pagar tanaman di pinggir sungai. Sejak tadi dia sudah berusaha memanggil Lutung, mungkin masih belum terdengar olehnya.
“Tung… Lutung..! Gluk gluk.” Suaranya masih serak basah.
Sesekali digoyangkannya rumpun tanaman berharap semoga Lutung melihatnya dan segera membawakan pisang yang dijanjikannya.
Perut si Lutung penuh, sampai susah bergerak. Saat ini dia terduduk menyembunyikan dirinya di rumpun pohon pisang. “Kakakakakak..kikikikik.. enak sekali.”
Lutung teringat akan kawan seperjuangannya, Kekua yang menunggunya di balik rumput tanaman dekat sungai.
“Dasar bodoh, kikikik, buat apa aku membawakan pisang untuknya,” desis Lutung dalam hati. Baginya Kekua hanyalah hewan bodoh yang hanya menunggu waktu untuk ditipu oleh hewan lain yang lebih pintar. Kebetulan saja dia bertemu dengan Lutung yang legendaris ini.
Tapi Lutung tidak akan membuat kedatangan kawannya itu menjadi sia-sia. Dipungut dan dikumpulkannya kulit-kulit pisang yang bergeletakan di rumput dan semak belukar di sekitar sana, semampu kedua genggamannya. Lutung mengendap-ngendap hampir merayap mendekati posisi Kekua dibalik pagar tanaman yang meninggi tak beraturan.
“Kuuuuk, kikikik, hei kawanku Kekua, kakakaka,” Lutung kali ini mendesis.
“Ini, tangkaplah, kakakakakakakaka,” Lutung tidak dapat menahan tawanya. Dilemparnya kumpulan kulit pisangnya itu melewati pagar tanaman ke arah Kekua.
Kekua sempat terkejut, dikalahkan oleh girangnya yang cepat berubah lagi menjadi amarah. Mulutnya terasa kelu ketika kulit-kulit pisang itu menghambur menutupi hampir seluruh tempurungnya yang berlumut.
“Gluk, Gluk.. Hei kau Lutung tak tahu diuntung!”
Kekua mencoba berteriak dengan sisa-sisa bara amarah yang membakar seluruh tubuhnya. Tapi Kekua sadar, tidak ada lagi yang bisa dia lakukan untuk memberi pelajaran kepada Lutung. Tidak mungkin baginya untuk memanjat pagar tanaman yang tinggi itu, tanpa banyak berkata lagi Kekua langsung menceburkan dirinya ke dalam air, berharap dinginnya dapat membantu meredam panas hatinya.
Sementara di balik pagar Lutung masih tertawa dengan gembira, sepertinya sudah tidak mampu lagi menahan rasa girang bukan kepalang. Sekali lempar batu dua burung langsung kena, perutnya kenyang dan berhasil membodohi si Kekua.
“Kikikikik, paling tidak si Kekua sudah mencicipi kulit pisangnya, kaaak kaak kaak,”
Girangnya hati Lutung membuatnya kurang waspada. Dia tidak menyadari dari arah pondok reyot jauh di dalam kebun pisang itu telah keluar sesosok hitam bertopi jerami. Dialah pak Tani, yang sedang penasaran pada suara ribut dari arah kebun pisangnya. Pelan-pelan pak Tani menyusuri rumput dan semak belukar sambil mengira-ngira arah datangnya suara ribut itu. Sesekali dilihatnya kulit-kulit pisang ranumnya yang banyak bertebaran dan hal itu membuatnya geram. Muka pak Tani bertambah merah padam saat mengintip dari rumpun pisang yang cukup lebat, tampak seekor Lutung yang tampak kekenyangan sedang berteriak-teriak tidak jelas sambil bermalas-malasan berbaring di rerumputan ujung dekat pagar yang berbatasan dengan sungai. Pak Tani bergegas kembali ke pondoknya, dia sepertinya sedang mengambil sesuatu.
Lutung yang kekenyangan masih berbaring di rerumputan, tubuhnya tambah letih setelah tertawa girang sejadi-jadinya. Saat ini yang ada dalam pikirannya adalah mencari tempat untuk memejamkan mata sejenak, tentunya sampai perutnya terasa lapar lagi. Lutung belum berniat untuk meninggalkan kebun surga pisang ini. Sejurus Lutung hendak bangkit dari rerumputan itu, tiba-tiba “JLEB”, seongok bambu yang berujung runcing tajam menembus perutnya yang kembung.
“Dasar binatang tak tahu diri!”, pak Tani menggeram sambil mendorong bambu runcingnya menembus perut Lutung yang sudah berani mencuri pisang-pisangnya.
“Kaaak,uuggghh,” Lutung hanya bisa berteriak, teriakan yang semakin lemah. Pandangannya mulai kabur dengan rasa sakit di perutnya yang sudah tidak tertahankan lagi. Sejenak Lutung teringat kembali dengan kawan baru yang sudah diperdayainya, Kekua. Tapi sepertinya semuanya sudah terlambat.

Denpasar, Nopember 2017



Tidak ada komentar:

Posting Komentar