Senin, 24 Februari 2014

Amplop Coklat

Pagi itu, ketika Pak Jarot membuka tumpukan bajunya dalam lemari, dia tidak sengaja menemukan seongok amplop coklat kusut. Terselip di sana, diantara baju-bajunya di bagian yang paling usang.
"Hah ini amlop siapa ya? "
Kalau sudah menemukan amplop, yang terlintas pertama dalam pikiran pak Jarot adalah uang alias duit atau doku.
Dengan penuh rasa penasaran dia ambil amplop itu, pelan-pelan mau dikantonginya tapi tak bisa karena ternyata saat itu pak Jarot ternyata masih mengenakan sarung.
"He he he he.." Pak Jarot sepertinya tertawa sendiri tapi dalam hati. Memang susah dibayangkan kaya gimana itu ketawa dalam hati, tapi memang saat itu pak Jarot tertawa tapi tidak kedengaran suara ketawanya.
Bu Jarot masih sibuk di dapur sejak tadi memasak untuk sarapan pagi. Sudah barang tentu pak Jarot mau mengecek sendiri dulu apa gerangan yang ada dalam amplop coklat buluk itu. Sudah barang tentu isinya uang tapi pak Jarot masih belum yakin. Tersenyum-senyum sendiri pelan-pelan pak Jarot mengambil celana dinasnya. Berganti sarung yang tidak ada kantongnya dengan celana dinas yang banyak "kantong selipannya". Pak Jarot masih tersenyum-senyum sendiri, pikirannya masih melayang-layang tentang amplop dalam lemari yang dia yakin isinya adalah uang. Itu pasti "Uang Laki" pikir pak Jarot. Apa itu uang laki? Itu lho semacam uang yang dimiliki suami tapi tidak diketahui istri kaya uang laki-nya orang yang lagi ngetop di TV itu namanya TCW. Uang lakinya dia banyak banget bisa buat bagi-bagi mobil. "Itu kan uang laki", kata pak Jarot dalam hati. Buktinya istrinya baik-baik aja tuh, kayanya gak protes, atau mungkin gak merasa kehilangan uang dalam jumlah besar. Ya itu pasti karena istirnya tidak tahu kalau ada uang itu. Itu memang uang laki. 
Pak Jarot kembali tersenyum-senyum sendiri kaya Capres-Capres di TV yang doyan menyamar untuk mewujudkan mimpi Indonesia katanya. Kemarin capresnya jadi tukang becak, terus jadi pedagang asongan. "Sudah pasti biaya nyamar itu juga pakai uang laki kan?", pak Jarot masih mendebat dirinya sendiri. Kalau gak paka uang laki masa yo istrinya gak marah punya uang lha  kok dipake menyamar kaya gitu, kan bisa jadi curiga.
" Bapaaaaakkk, uda bangun belom?" teriakan bu Jarot dari dapur membuyarkan lamunan pak Jarot. Dengan gerak cepat, pak Jarot menuju lemari, mencomot amplop coklat dalam lemari yang kemudian langsung dimasukkan ke dalam kantong celana dinasnya.
Pak Jarot ini orangnya agak lugu. Jadi kalau ada yang dia sembunyikan dia akan kikuk sendiri. Niatnya itu amplop coklat yang isinya diyakini adalah uang laki akan dibawa ke kantor dan akan dibuka di toilet kantor biar gak ada yang tahu karena kalau si Tiwul cleaning service kantor tahu dia pasti akan minta ditraktir.
Yah minimal si Tiwul akan menawarkan jasa penyimpanan uang biar tidak terlacak oleh PPATK.
"Bapak ini kenapa tho? Kok dari tadi kelihatan semringah?" bu Jarot membuka pembicaraan di meja makan ketika merasa agak aneh melihat suaminya sarapan pagi pake sendok dan garpu wong biasanya pake dua tangan. Tangan kanan ambil nasi, tangan kiri comot sambal.
"Lha ga pa pa bu. Kan kan biar ada variasi aja kalau tiap hari makan pakai tangan lama-lama bosan juga." jawab pak Jarot dengan tidak yakin.
Pak Jarot langsung keringat dingin. "Masa ibu tahu aku ngambil amplop coklat dalam lemari?" pikir pak Jarot. 
Nasinya belum habis pak Jarot buru-buru saja meninggalkan meja makan.
"Lha nasi belum abis kok sudah jalan aja pak?" tanya bu Jarot. 
"Ada apa tho pak?" bukan tanpa alasan bu Jarot jadi curiga dengan orang yang sudah 15 tahun diajaknya hidup bareng itu.
"Gak apa-apa bu. Bapak mau berangkat lebih pagi aja. Jalanan sebentar lagi macet ini. Takutnya gubernur kita yang baru keburu nyalon jadi Presiden ini masalah macet di jalanan kota masih belum tuntas juga." jawab pak Jarot kacau.
Bu Jarot cuma geleng-geleng kepala saja melihat tingkah suaminya yang memang tidak pandai berbohong. "Ya sudahlah.." gumam bu Jarot dalam hati.
Gak pake nunggu dana bansos cair, pak Jarot langsung tancap mobilnya. Walaupun dia tahu kalau pagi ini mobilnya belum dipanasin, tapi amplop coklat dalam celana dinasnya sudah menunggu untuk segera dibuka.
Masuk tol, keluar tol, macet sebentar, macet agak lamaan, pak Jarot menjadi tidak sabar.
Pak Jarot akhirnya melaksanakan rencana B saja karena sudah tidak sabar. Amplop coklat tidak jadi dibuka di kantor. Amlopnya dibuka di dalam mobil saja sambil menuju ke kantor. Jadi, pak Jarot akan menepi sebentar. Lalu lintas pagi itu memang sudah padat.
Sekenanya pak Djarot meminggirkan mobilnya, setelah menarik beberapa kali napas panjang, dengan tangan bergetar diambilnya amplop coklat bulukan dalam kantong celana dinasnya. 
Dibukanya pelan-pelan amplop yang besarnya kira-kira cukup untuk memasukkan berlembar-lembar uang rupiah bergambar Proklamator Republik Indonesia.
"Hah?!" Pak Jarot terkejut setengah mati melihat isi amplop coklat itu.
Dia lalu terdiam mematung sambil memandangi isinya lekat-lekat.
Tiba-tiba ada suara tegas dan berat menyapa pak Jarot, "Selamat pagi, Pak! Apa bapak tidak melihat rambu lalu lintas di samping mobil bapak ini?"
Sejenak pak Jarot menoleh ke kiri dan menemukan tanda huruf S besar dicoret tegak di samping mobilnya yang terparkir masih di bentangan jalan yang cukup padat merayap.
Pria berseragam coklat yang menyapanya tadi langsung meminta SIM dan STNK milik pak Jarot.
Pak Jarot cuma bisa pasrah.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar