Minggu, 06 Juli 2014

Sayap Pucat


Sepasang sayap pucat
Entah ke arah mana ku kan membawanya terbang
Di depan hanya gelap, muram, dan dingin
Apa sebaiknya aku naik ke atas saja biar sekalian tertiup angin
Biar angin yang meniupkan tubuh ini
Menghempaskan kami kembali kepadamu
Aku tahu wahai dingin, tugasmu menusuk hingga ke tulang-tulangku
Tapi apa daya semua itu?
Apa daya semua itu terhadap tubuh rapuh yang tertiup angin ini


                                                               Denpasar, 06 Juli 2014

Kamis, 03 Juli 2014

Nomor Anda

Hari ini tanggal 3 Juli 2014. Tanggal 9 Juli 2014, Indonesia, salah satu negara demokrasi terbesar di kawasan Asia Tenggara akan melaksanakan pemilihan umum untuk memilih presiden. Pemilihan yang akan dilaksanakan secara langsung, seperti yang saya lihat di televisi, di negara kiblat demokrasi semacam USA. Suasana kampanye sangat kental terasa, semacam orang yang lagi sensitif, info kampanye itu "senggol dikit langsung bacok". Info yang sebenarnya saya ingin peroleh tetesannya saja dapatnya langsung deburan ombak. Indonesia mungkin sedang menikmati periode di mana informasi sangat gampang diperoleh, bahkan tidak diminta pun kita diberi informasi oleh tim sukses dari masing-masing calon presiden. Media cetak, dunia maya, lebih-lebih media elektronik terutama saluran televisi sedang hits-hitsnya menayangkan segala hal tentang calon presiden. Dari pengamatan saya, salah satu yang menjadi korbannya adalah angka alias nomor, yaitu angka 1 dan angka 2.
Angka 1 dan angka 2 mungkin belum pernah menjadi seheboh ini di Indonesia. Bahkan saat jaman orde baru, kalau tidak salah ingat partai yang berkuasa adalah yang bernomor 2, tapi kemungkinan karena informasi sudah "teratur" dan "terarah" maka euforia-nya tidak seperti saat ini. Sedikit saja tersangkut dengan salah satu angka entah 1 atau 2, pasti langsung dikonotasikan dengan salah satu calon presiden. Ada yang begitu fanatiknya baik kepada si nomor 1 maupun nomor 2 sehingga menurut saya esensi kampanye bagi saya menjadi hilang. Di benak saya, kampanye adalah seperti mempromosikan diri sendiri, itu yang utama. Kampanye adalah bentuk tindakan baik langsung maupun tidak langsung dari sang empunya kampanye kepada khayalak untuk menyampaikan hal-hal apa yang membuatnya untuk layak dipilih. Namun, kenyataan yang saya lihat, sungguh "luar biasa". Saya pernah bertanya pada diri sendiri, hal apa yang pertama terlintas ketika orang menyebut calon nomor 1 ataupun calon nomor 2. Dahsyat sekali, justru yang terlintas pertama adalah hal negatif tentang masing-masing calon, begitu si nomor 1 atau nomor 2 disebut. Fenomena apa ini? Bukankah mereka telah berkampanye?
Ada satu hipotesa yang saya simpulkan sendiri dari kejadian ini. Bahwa penyebab dari semua hal ini adalah maraknya "black campaigne". Seperti kata pepatah, karena nila setitik, rusak susu sebelangga. Kalau kita umpamakan black campaigne itu seperti nila itu, tak peduli seberapa banyak prestasi dari kedua calon, ketika ada sedikit saja hal negatif, entah itu memang benar atau memang sengaja diblow up sebagai strategi untuk memenangkan salah satu calon hasilnya yang terdengar gaungnya lebih keras malah hal yang negatif tersebut.
Ada yang sudah menonton debat capres? Jangankan yang berdebat, moderatornya saja banyak dihujat, begitu kan? Unsur pendukung pelaksanaan debat saja bisa dihujat apalagi materi debatnya. Tapi begitulah realitanya, begitulah adanya ketika kebebasan untuk berdapat telah menemukan eranya. Ketika satu kata saja yang terucap salah bisa menjadi alat untuk merusak seluruh maksud baik dari sebuah pemaparan.
Dalam hati saya terus mencoba meyakinkan diri. Bahwa kedua calon memang sangat ingin untuk memberikan yang terbaik untuk Indonesia, saya mencoba meyakini itu. Sah-sah saja mereka masing-masing memiliki basis pendukung yang sangat kuat. Basis pendukung yang kuat saya artikan dalam pemikiran positif berarti masing-masing calon presiden sudah pernah membuktikan dirinya minimal kepada para pendukungnya itu. Tentunya dengan harapan jangan sampai fanatisme berlebihan terhadap salah satu calon memecah belah persatuan bangsa kita. Yang terpenting, pemilu dapat berjalan dengan lancar dan damai.
Jadi, entah kamu pilih nomor 1 atau 2, kamu tetap teman saya. Kita sama orang Indonesia.

***