Minggu, 14 April 2013

I Wayan Sudarma

Kecil saya dulu pas SD, ada seorang teman kami, namanya I Wayan Sudarma, ayahnya seorang buruh tani, merangkap sebagai pengurus ternak, rumahnya berdinding anyaman bambu di tengah-tengah tegalan, sebuah tegalan di tengah rimba aspal yang mulai mengancam tempat kami.
Sudarma, begitu kami memanggilnya, tergambar senyumnya yang tulus tiap kali namanya kami panggil, sungguh pribadi anak berwatak ulet yang tak pernah kenal lelah. Buku catatannya yang tercampur, yang selalu dia selipkan di selipan celana merah SD di belakang punggungnya itu, kami tahu dia bukan sedang bergaya, kami sudah mengerti itulah salah satu buku yang dapat dia manfaatkan sebagai catatan. Sudarma tidak seberuntung kami yang bisa mencatat masing-masing pelajaran dalam buku-buku yang berbeda, dia juga tidak semujur saya yang ada seragam putih merah lebih dari dua setel, namun begitu Sudarma jarang sekali menolak ajakan kami main benteng-bentengan pas jam istrahat, dan kami tahu dia masih mengenakan setelan yang sama untuk hari-hari berikutnya walaupun telah lusuh oleh keringat.
Sudarma bukanlah yang terpintar, dan kami tahu dia kadang-kadang tidak mengerti juga dengan materi pelajaran, namun kami tahu fisiknya melebihi kami. Badannya ditempa setiap hari ketika membantu ayahnya mencari rumput untuk sapi peliharaannya, Sudarma sangat ahli menggunakan cangkul, sabit, dan alat kerja lainnya. Saat kami takut tangan melepuh mengayunkan cangkul, dia dengan senyum tulusnya menunjukkan pada kami bagaimana seharusnya cangkul itu digunakan. Tangannya sangat lihai ketika mengarit rumpu-rumput liar di kebun sekolah kami.
Kadangkala nama Sudarma muncul di papan absen kami, menggantikan Nihil. Kami tahu bukan maunya dia seperti itu, kami tahu bahwa kadang-kadang ayahnya sakit, dan dialah yang menemeni ayahnya yang sakit dan merawatnya.
Sampai saat itu datang, ketika dengan penuh rasa ragu Sudarma ingin bercerita, namunn ceritanya selalu tertahan. Ceritanya terkait erat dengan kelanjutannya dia bersekolah, kami sungguh bodoh, tidak bisa memahami maksudmu. Entah kenapa kami baru mengerti ketika datang hari-hari dimana kamu tidak datang ke sekolah lagi, bahkan saat namamu sudah tidak ada dalam daftar absen kelas lagi.
Tribute to I Wayan Sudarma, di mana pun engkau kini. Kami yakin kamu jauh lebih hebat daripada kami.


Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone