Selasa, 28 Februari 2012

Fans?!

Ini posting untuk mencoba melupakan kekalahan Garuda Muda dari Myanmar 1-3 T_T
Pasti serulah kalau sesama penggila sepak bola berkumpul terus ngomongin yang namanya sepak bola, pasti dah gak abis-abis. Pokoknya ada aja yang dibahas. Lebih-lebih kalau masing-masing peserta ngobrol punya klub idolanya masing-masing, biasanya yang klub idolanya kalah langsung jadi bulan-bulanan :) Kadang-kadang malas juga sieh, tapi seringnya sieh ikut "kebakar" kalau pas dipanes-panesin. Susah banget mengendalikan diri kalau klub sepak bola kita dihujat..hehehe..
Seperti yang terjadi sore tadi, sebuah klub sepak bola idola teman kami, sebut saja tim A, baru memenangkan piala. Tiba-tiba ada teman kami yang lain, kebetulan mengidolakan tim B memposting gambar tim A yang sedang merayakan kemenangannya memenangkan pialanya, namun diberi tulisan yang rada nyindir "hore, kami tumben angkat piala, sesuatu banget." Tentu saja teman yang mendukung tim A langsung mencak-mencak, serangan balik pun dilancarkan. Si pendukung tim B dicerca oleh pendukung tim A, apa bukti kamu dukung tim B, member aja gak punya. Kalau emang pendukung sejati harusnya punya member (IDcard) donk, gak punya berarti fans abal-abal. Saya cuma senyum-senyum saja, dalam hati sih cuma berusaha menyimpulkan, namun sepertinya tidak usah diutarakan.
Kembali pada serangan balik si pendukung A, apa iya ya? Seorang fans tim sepak bola, misalnya pendukung Arsenal, MU, Madrid or Barca ato tim mana pun harus memiliki member (kartu anggota) fans dari masing-masing klub yang mereka dukung? Kalau menurut saya sih bentuk dukungan terhadap sebuah tim sepak bola itu terlalu sempit kalau hanya diukur dari kepemilikan sebuah kartu anggota pendukung. Sah-sah saja sih kalau memiliki kartu anggota, tapi kalau menuduh orang lain tidak memiliki kartu anggota pendukung tim kesayangannya sebagai fans palsu? Tunggu dulu.
Saya sendiri membuat sebuah analogi, walaupun mungkin agak terlalu tinggi analoginya. Dahulu pada masa perjuangan, para pahlawan kita tidak kenal lelah berjuang berperang mengorbankan jiwa raganya demi kemerdekaan kita. Saat itu kira-kira sudah ada KTP belum ya? Untuk mengukur tingkat nasionalisme seseorang? Jadi, ketika seseorang tidak memiliki KTP atau tanda mendukung negara Indonesia, maka dia bukan fans/warga negara Indonesia. Bandingkan dengan sekarang, mungkin banyak oknum-oknum yang surat-suratnya lengkap, KTP ada, tapi apa kelakuannya pasti mendukung kelangsungan NKRI? Hehehe.. Sekali lagi ngingetin ini cuma analogi, walaupun analoginya mungkin terlalu tinggi.
Pada intinya sih, mendukung sebuah klub sepak bola itu adalah hak setiap individu termasuk keinginan untuk membuat kartu anggota pendukung sebuah klub. Tapi tetap saja, sekeras-kerasnya saling ejek antar fans tim sepak bola, seharusnya itu tidak menimbulkan permusuhan. Seperti biasa kami selalu "bertengkar" kalau urusan klub idola namun tetap bersahabat kental kala "diskusi bola" nya udah kelar. Omong besar dan ejekan itu cuma semacam latihan mental dan bumbu dalam pertemanan, jarang-jarang kan bisa menghujat tapi abis itu hepi :p karena pada dasarnya kita semua mencintai sepak bola, sepak bola seharusnya mengajarkan keindahan dan sportivitas, jauh dari permusuhan.(*)


Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone

Minggu, 26 Februari 2012

Periode Menjelang Nyepi

Kalau sudah mendekati Nyepi kaya gini, so pasti kawula muda di Bali pada sibuk buat ogoh-ogoh. Jadi inget dulu, walaupun cuma jadi anggota alias cuma penggembira, pas kecil-kecilnya ikutan bikin ogoh-ogoh. Masih pada ingusan aja udah ikutan buat ogoh-ogoh walaupun kecil-kecilan. Umumnya banjar-banjar di Bali (setingkat di bawah desa) memiliki organisasi kepemudaan (sejenis karang taruna) yang disebut Sekaa Teruna (sekaa berarti kumpulan/kelompok/grup dan teruna berarti pemuda/muda). Umur anggotanya pada kisaran kelas 1 SMA s.d.usia berapa pun asal belum menikah. Jadi, walaupun secara usia saya masih memenuhi syarat, namun karena sudah menikah jadi keanggotaan di sekaa teruna harus dilepas masuk menjadi Krama (Anggota) Banjar.
Nah, ceritanya kan sekarang uda masuk periode-periode krusial menjelang Nyepi. Para anggota sekaa teruna biasanya udah mulai atau sedang buat ogoh-ogoh. Ogoh-ogoh selain sebagai simbol dari kekuatan alam negatif (Bhuta) ternyata juga menjadi simbol kebanggaan. Lha kok bisa? Bayangkan ini, ogoh-ogoh sekaa teruna anda keren, bentuknya bagus, kuat, serta posenya seperti mustahil untuk dibuat, tentu bangga banget saat mengaraknya apalagi kalau bisa membuat kagum anggota sekaa teruna banjar lain. Di masa-masa saat saya masih menjadi anggota sekaa teruna, saya selalu percaya ogoh-ogoh kami selalu memberi kesan yang berbeda.
Gebrakan pada jaman saya masih aktif dimulai ketika membuat ogoh-ogoh berupa raksasa hijau yang digambarkan sebagai bentuk Triwikrama dari Dewa Wisnu bersenjatakan cakra. Posenya menantang karena mengangkat salah satu kakinya, jadi pondasi ogoh-ogohnya hanya bertumpu pada satu kaki saja. Jaman itu sudah keren banget tuh, untuk tingkat desa kami :) bangga banget bisa ikut ngarak ogoh-ogoh itu. Ternyata di tahun-tahun berikutnya desain ogoh-ogoh makin menggila. Kreativitas adik-adik dan kakak-kakak di sekaa teruna kami patut diacungi jempol. Sekaa teruna kami sempat membuat ogoh-ogoh dalam bentuk maskot Iron Maiden lengkap dengan gitarnya, raksasa berukuran besar dengan pose terbang. Yupz, terbang, tumpuannya hanya pada lutut kanannya. Itu saja sudah bikin saya berdecak kagum, tapi ternyata itu belum seberapa. Kalau tidak salah pada saat menjelang Nyepi di tahun 2009 atau 2010 saya lupa-lupa ingat waktu persisnya, sekaa teruna banjar kami membuat ogoh-ogoh yang sangat revolusioner. Temanya sangat up to date, global warming.. Keren.. Sangat..
Global warming digambarkan sebagai raksasa yang siyap menelan Bumi kita. Posenya sangat mendebarkan, sang raksasa seolah-olah akan memakan Bumi dengan pondasinya adalah lidah sang raksasa. Saya bingung juga tuh kaya gimana bikinnya (saat itu sudah di surabaya). Pose raksasa terbalik, kaki di atas, mirip handstand,tapi bukan dengan tangan melainkan dengan lidah dan bola dunia sebagai landasannya. Sayang saya belum memiliki file fotonya, kalau ada kesempatan memperolehnya saya akan posting deh.
Untuk tahun 2012, walaupun sudah pasti tidak akan merayakan Nyepi di Bali, tapi saya tetap akan mencari informasi kaya gimana sih bentuk ogoh-ogoh yang digarap sekaa teruna di kampung halaman. Sepertinya akan jauh lebih keren.
Jadi makin gak sabar. (*)


Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone

Sabtu, 25 Februari 2012

Cerita tentang Si Monyet

Hiduplah seekor monyet di tengah hutan belantara sendirian. Dia sudah lupa siapa orang tuanya,lupa kawan-kawan sepermainannya sejak kecil hingga sampai sekarang pun belum pernah berkawan dengan binatang manapun. Setiap hari si monyet hanya terus berusaha bertahan hidup di tengah belantara hutan lebat yang penuh bahaya. Seringkali dia harus berjibaku meloloskan diri dari kejaran predator-predator hutan yang kejam. Ada chetaah yang juga jago menaiki pohon, burung elang yang menguasai udara, sampai si buaya yang selalu mengintai setiap kali si monyet minum di sungai besar yang membelah hutan habitatnya.
Lama-lama si monyet menjadi bosan, bosan sendirian, bosan harus bekerja keras mencari makanan, sumpek, capek harus selalu melarikan diri, gelisah, gusar bercampur marah. Baginya tidak ada satupun di hutan yang maha luas itu mengerti tentang dirinya bahkan untuk buah pisang yang sangat dia sukai. Si monyet hari itu membulatkan tekadnya, bahwa semua ini harus berubah, dia sudah sangat muak hidup di hutan belantara yang gelap itu.
Hingga suatu ketika si monyet mendengar tentang sebuah tempat yang terletak di luar hutan, tanah yang terbebaskan kata monyet tua sekarat dekat sungai tadi pagi. Si monyet hanya memandangi si monyet tua yang umurnya tinggal beberapa tarikan nafas itu. Dalam setiap tarikan nafasnya dia terus memekikkan sesuatu tentang "tanah yang terbebaskan", sebuah tempat yang berbeda sekali dari hutan gelap itu. Sebuah tempat tanpa sedikit pun pohon-pohon hijau dan gelap, bebas dari chetaah dan buaya, bahkan elang. Tempat di mana seolah penghuninya bisa hidup tanpa hutan.
Si monyet terpukau mendengarnya, dia percaya tanah yang terbebaskan adalah tempat yang akan dia tuju, walaupun belum pernah mendengarnya, kata 'bebas' di dalamnya membuat monyet merasa nyaman. Bagi si monyet di sanalah takdirnya. Hutan ini terlalu kejam baginya, monyet merasa tidak memerlukan hutan lagi. Dia bertekad akan ke sana. Pergi ke "tanah yang terbebaskan."
***
Siang itu si monyet tengah bermalas-malasan. Kibasan rantai yang mengekang lehernya tiba-tiba mengencang, dia terhenyak. Si monyet sudah berada di "tanah yang terbebaskan" , dia berhasil ke sana. Hari ini monyet kembali bersiap-siap untuk menari lagi dengan payung kecilnya. Menaiki motor kecilnya serta menarik gerobaknya. Suara-suara yang terdengar olehnya sekarang hanya suara sesosok manusia bertampang garang yang kini menggenggam ujung rantai yang membelenggu lehernya. Si monyet sangat merindukan hutan belantara tempat tinggalnya dulu.
Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone

Jumat, 24 Februari 2012

Maaf,Saya (Tidak) Suka Sinetron..

Saya suka televisi, sungguh memberi banyak informasi dan hiburan di kala senggang. Tapi tentunya tidak semua acara televisi saya lahap. Layaknya buah kadang tidak semua bagiannya kita suka, misalnya rambutan, tentunya daging buahnya enak banget tapi tidak kulit dan bijinya (contoh cukup jelas :p).
Kalau acara televisi itu saya umpamakan sebagai buah rambutan, sinetronlah yang menjadi biji atau kulitnya, maaf "no offence" bagi para penggemar sinetron. Ibu, bibi, dan om saya suka dengan sinetron, begitu juga dengan istri saya. Walaupun mungkin mereka tidak mengatakannya secara gamblang "Saya suka sinetron" tapi cara mereka menontonnya, menyimak sampai mendiskusikannya kembali :p cukup mengatakan tingkat level kesukaan mereka terhadap sinetron.
Hal yang menurut saya cukup unik di sini adalah sesuatu yang saya sebut "penyangkalan semu", contoh : istri saya pernah menyatakan *ini ceritanya lagi di depan tv* "ini sinetron kayanya emang sengaja dibuat-buat supaya episodenya panjang. Sinetron ini kan ratingnya tinggi".. Nah itu kan, sudah tahu kalauu ceritanya dibuat-buat, tapi kok ya masih ditonton ya?? (Big Question)..hehehehe.
Berikut ini saya coba rangkum beberapa faktor yang menurut saya menjadi penyebab ketidaksukaan saya dengan sinetron :
1. Di beberapa stasiun tv di Indonesia, tokoh utama sinetron selalu bernasib malang. Seolah topik utama sinetron adalah tentang sialnya nasib sang tokoh utama,termasuk bagaimana tokoh-tokoh antagonisnya "mengerjai" tokoh utamanya.
2.Dari segi cerita yang cenderung mengikuti ratingnya, semakin bagus ratingnya maka semakin dipanjang-panjangin ceritanya. Misal : ketika tokoh utama sudah bahagia, tiba-tiba ada kecelakaan, terus kena amnesia. Atau tokoh utama dikira telah mati atau lebih ekstrem lagi bangkit dari kematian terlebih kemana-mana naik elang :p.
3.Saya akui kalau dulu pas jaman-jaman SD pernah suka sinetron dan itu menurut saya karena kurang tersedianya pilihan acara televisi lain untuk ditonton. Tapi itu dulu, sekarang apalagi sudah kena yang namanya sinetron ala barat kaya NCIS,CIS,How I Met Your Mother,dll jadi makin bertanya-tanya, kenapa dulu pernah suka sinetron ya? Bukannya tidak cinta dengan produk dalam negeri, tapi coba aja deh bandingkan, dari segi penggarapan,kualitas, efek khusus, kok kayanya sinetron kita masi kurang bagus (baca j*lek ;p).
4.Ini pengalaman dari kakak ipar saya. Bagaimana kalau tiba-tiba anak anda mengucapkan kata-kata yang sepertinya sama sekali belum pernah kita ajarkan bahkan kata-kata yang kurang sopan?. Contoh ponakan saya masi balita tiba-tiba ngomong :"Mamak jahat" dengan intonasi yang persis dalam sinetron. Kagok juga kan?
5.Dengan alur cerita yang kadang tidak jelas dan pengaruhnya yang negatif, sinetron hadir di jam-jam utama, berkisar antara jam 18.00-21.00WIB, kayanya rentang waktu di mana banyak pemirsa manteng di depan televisinya termasuk anak-anak di bawah umur. Terlebih label dan sensor semisal R/BO pada layar tv belum optimal dalam membatasi konten-konten yang mungkin belum layak dikonsumsi anak-anak di bawah umur. (Sinetron mungkin cocok ditayangin jam 12 malam ke atas *ngikik)
Walaupun mungkin tidak semua sinetron memberi pengaruh negatif, tapi sejauh yang saya tahu, sebagian besar kontennya (gaya hidup mewah,contoh pandangan penuh kekejaman,nyinyir dengan suara dalam hati yang terdengar jelas, gaya berpakaian, dsb) masih "enggak banget". Dulu ada angkatan balai pustaka, angkatan 45 yang terkenal dengan karya-karya sastranya, miris juga kalau seandainya muncul jargon "angkatan sinetron" dalam beberapa tahun ke depan :)
*this is just my opinion*

Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone

Kamis, 23 Februari 2012

Problem Duluan Mana Ayam dan Telur

Sebenarnya bukan bahasan secara ilmiah, tapi hanya sebuah analogi realita yang kita hadapi sehari-hari di sekitar kita. Mungkin secara ilmiah dapat ditentukan mana yang lebih dulu antara ayam dengan telur, namun kalau dipandang secara awam sebetulnya analogi ini cocok untuk menggambarkan sesuatu yang sering diperdebatkan. Misal : kota-kota besar di Indonesia umumnya mengalami masalah yang sama dalam menangani kemacetan. Ditengarai volume jumlah kendaraan yang terlalu besar yang tidak diimbangi dengan infrastruktur yang memadai menjadi penyebab utama kemacetan seperti di Jakarta dan Surabaya.
Kemudian muncul diskusi-diskusi tentang bagaimana sieh caranya mengurangi kemacetan itu? Ada yang mengusulkan bagaimana kalau pemerintah membatasi jumlah kendaraan yang beredar di jalanan. How? Misalnya mungkin dengan mengeluarkan aturan pembatasan atau menaikkan pajak untuk kendaraan. Bisa juga dengan himbauan kepada masyarakat untuk lebih memberdayakan kendaraan umum, kurangi penggunaan kendaraan pribadi. Tapi hal ini langsung didebat, mungkin terdengar ironi, di saat pemerintah menghimbau untuk lebih mengutamakan kendaraan umum, sudahkah kendaraan umum atau pun fasilitas pendukungnya memadai? Saya kira juga belum, seperti di Bali khususnya Denpasar, transportasi umum yang dapat dimanfaatkan untuk mobilisasi terasa sangat kurang. Akibatnya apa? Masyarakat tentunya pasti akan tetap lebih memilih untuk menggunakan kendaraan pribadinya daripada memaksa diri untuk memenuhi himbauan pemerintah untuk menggunakan kendaraan umum. Bahkan mungkin walaupun pajak kendaraan dinaikkan, masyarakat tetap memilih memakai kendaraan pribadi daripada bersusah-susah dengan transportasi umum yang dirasa kurang memadai. Maka, makin macetlah kota Denpasar apalagi saat musim liburan.
Jakarta? Pilihan transportasi sangat banyak, tapi kok ya masih macet saja? Ruwet dah kalau di Jakarta. Saya sendiri pernah mencoba naik metromini, kok ngebutnya bikin degdegan ya. Apalagi kalau udah action ikut-ikutan ambil jalur busway berpacu bersama roda dua yang gak kalah ngebutnya, sungguh bikin adrenalin makin terpompa. Kalau naik busway memang jarang, tapi udah lumayanlah, semoga armadanya bisa ditambah terus dan pelayanannya makin meningkat. Ada kebijakan penggunaan mobil 3in1 yang saya rasa tujuannya agar yang punya mobil pribadi "membagi" mobilnya dengan teman/keluarga/penumpang agar lebih efisien sehingga jumlah mobil yang masuk kawasan 3in1 lebih terkendali yang ternyata hanya membuat pemilik mobil lebih memilih menyewa "joki" justru untuk membuat mobilitasnya lebih fleksibel. Jadi, timbullah pertanyaan analogi ayam dan telur tadi, mana seharusnya lebih dahulu, inisiatif pemerintah untuk membangun fasilitas transportasi yang memadai atau aturan pembatasan kendaraan bagi para pengguna misalnya dengan pengenaan pajak kendaraan yang tinggi? Atau dua-duanya harus berjalan bersamaan? Mungkin gak langsung dijalankan bersamaan? Kalau emang bisa jangan-jangan telur dan ayam itu sebenarnya juga ada secara bersamaan. :p
Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone